Beberapa minggu sebelum gempa dan tsunami Jepang merusak PLTN Fukushima, China mengumumkan ambisinya untuk membangun reaktor nuklir yang lebih aman, lebih bersih, serta lebih murah dengan menggunakan torium.
Ambisi itu secara resmi diutarakan Chinese Academy of Sciences dalam sebuah konferensi di Shanghai, 25 Januari lalu. China menargetkan untuk membangun PLTN berbahan bakar torium dalam jangka waktu 20 tahun.
Menurut Xu Hongjie, peneliti di Chinese Academy of Sciences, Shanghai Institute of Applied Physics, nuklir adalah pilar energi masa depan bagi China. Namun dengan tingginya kebutuhan energi negeri tersebut, mereka membutuhkan bahan bakar yang bisa menghasilkan lebih banyak energi. Pilihan pun jatuh pada torium yang banyak terdapat di Mongolia Dalam.
"China akan membangun reaktor garam-cair untuk siklus torium," kata Xu. Dengan menggunakan torium, selain jumlahnya yang melimpah di negeri itu, reaktor yang dibangun pun berukuran relatif kecil yang berarti lebih ekonomis. Selain itu, reaktor torium juga menghasilkan limbah yang lebih sedikit.
Tingkat keamanan reaktor torium juga diklaim paling tinggi dan nyaris tidak akan terjadi pelelehan bahan bakar. Kirk Sorensen, mantan insinyur NASA di Teledyne Brown yang juga seorang ahli torium mengakui hal tersebut. "Saat reaktor menjadi terlalu panas, sebuah sumbat kecil akan meleleh dan memutus reaksi fisi sehingga reaktor itu mampu menyelamatkan dirinya sendiri," jelas Sorensen.
Selain itu, reaktor torium dapat beroperasi pada tekanan atmosfer standar sehingga tidak perlu khawatir akan terjadi ledakan hidrogen seperti yang terjadi di PLTN Fukushima Daiichi, Jepang. Sorensen juga yakin, reaktor ini dapat bertahan dengan baik setelah terjangan tsunami tanpa ada materi yang terlepas ke udara.
Thorium adalah logam berwarna perak dengan nomor atom 90. Meski memiliki "masalah" sendiri, reaktor torium tidak akan lepas kontrol dengan mudah seperti yang terjadi di Chernobyl, Three Mile Island, dan Fukushima. (Sumber: The Telegraph, LaRouche)