Hari ini, 24 Maret, enam puluh lima tahun lalu: "Bandung Lautan Api".
Berawal dari ultimatum pertama tentara Sekutu pada 21 November 1945 yang mengharuskan Bandung bagian utara dikosongkan oleh selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Para pejuang harus menyerahkan pula senjata yang mereka rampas dari tentara Jepang demi menjaga keamanan. Apabila tidak diindahkan, tentara Sekutu akan menyerang.
Peringatan ini tidak dihiraukan oleh para pejuang Indonesia. Sejak saat itu seringkali terjadi bentrokan senjata antara tentara republik dan Sekutu. Kota Bandung pun terbelah menjadi dua, Bandung Utara dan Bandung Selatan. Oleh karena persenjataan yang tidak memadai, para pejuang lainnya akhirnya terpaksa menyerahkan Bandung Utara dikuasai oleh tentara Sekutu.
Pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum kedua. Mereka menuntut agar demi mempertimbangkan politik dan keselamatan rakyat, pemerintah memerintahkan TRI dan para pejuang lainnya untuk mundur dan mengosongkan Bandung Selatan.
Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946. Pembumihangusan tersebut kini dinilai merupakan tindakan yang cukup tepat, karena kekuatan TRI (Tentara Rakyat Indonesia) tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar tapi di satu sisi tidak ada yang rela kota mereka dimanfaatkan musuh. Masyarakat segera diminta mengungsi.
Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda lainnya, lantas meninggalkan kota menuju pegunungan di selatan. Mereka juga membakar bangunan-bangunan penting di sekitar rel kereta api dari Ujung Berung hingga Cimahi, salah satunya Indisch Restaurant yang berlokasi di sebelah utara alun-alun kota (sekarang Bank BRI Asia-Afrika).
TRI bersama-sama masyarakat mulai mengundurkan diri ke daerah selatan. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung.
Istilah 'Bandung Lautan Api' muncul di harian Suara Merdeka tertanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yakni Atje Bastaman menyaksikan pemandangan Bandung yang terbakar dari bukit Gunung Leutik, Garut dan menuliskan berita tersebut dengan judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api".
Tugu Bandung Lautan Api, berada di Lapangan Tegallega di tengah-tengah kota Bandung. Tugu setinggi 45 meter dan memiliki 9 bidang sisi ini dibangun sebagai monumen untuk memperingati, mengenang peristiwa Bandung Lautan Api. Tugu ini pun menjadi salah satu monumen paling terkenal di Bandung.