Teknologi Rumah Tahan Gempa Wajib Diadopsi

By , Kamis, 31 Maret 2011 | 06:55 WIB

Indonesia saat ini telah mengadopsi beragam teknologi bangunan ramah gempa, khususnya untuk bangunan baru, sesuai dengan zona gempa di berbagai daerah. Konstruksi bangunan tahan gempa ini sudah diatur melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, sampai ke Peraturan Daerah.
Salah satu yang terus dikembangkan teknologi pondasi ramah gempa yang diciptakan putra Indonesia adalah, Konstruksi Sarang Laba-Laba (KSLL). Konstruksi Sarang Laba-Laba termasuk ke dalam kelompok pondasi dangkal, mengingat ada juga teknologi bangunan yang menggunakan pondasi dalam, kata ahli bangunan ramah gempa Antonius Budiono. 
KSLL telah terbukti dalam gempa di Aceh dan Padang dengan tak mengalami kerusakan. Di Aceh dan Padang, KSLL telah diterapkan untuk bangunan bertingkat dan tidak bertingkat. Teknologi juga terus dikembangkan dan akan digunakan untuk konstruksi bandara dan jalan.
Pondasi ramah gempa ini telah mendapat sejumlah penghargaan, seperti penghargaan Konstruksi Indonesia 2007, Indocement Award dan Ristek 2008, Apresiasi Produk Asli Indonesia dan Rintisan Teknologi Upakarti Award 2009.   
Bangunan rawan gempa belum berarti anti-kerusakan. Menurut Agoes Widjanarko, Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, bangunan yang berada di pusat gempa, sekuat apa pun konstruksinya, pasti akan mengalami kerusakan. "Hanya saja kerusakan yang ditimbulkan tak akan parah, sehingga penghuni di bangunan tersebut masih dapat menyelamatkan diri untuk mencari perlindungan," ujar dia.  
Hal senada dikemukakan ahli bangunan ramah gempa, Antonius Budiono. Dia menambahkan, sebenarnya teknologi ramah gempa di Indonesia sangat banyak tinggal konsultan bangunan memilih yang dinilai lebih efisien dan aman untuk suatu daerah.
Pemerintah membagi wilayah Indonesia ke dalam zona gempa sehingga bangunan yang didirikan harus dirancang menghadapi kekuatan gempa di zona tersebut. Agoes mengatakan, tujuan pemerintah membagi wilayah Indonesia ke dalam beberapa zona gempa bertujuan mengefisienkan biaya pembangunan. "Kalau di suatu daerah kemungkinan gempa hanya sampai 3 skala richter mengapa harus menggunakan struktur bangunan dengan kekuatan sampai 8 skala richter?" ujar Agoes. (Haryo Damardono)