Penyakit gangguan jiwa ada di posisi kedua dalam hal dana yang keluarkan untuk pengobatan. Peran keluarga dan perhatian pemerintah diharapkan dalam penanganan.
Gangguan jiwa mengakibatkan beban dana sosial untuk kesehatan masyarakat meningkat. Kini, posisinya di urutan kedua setelah penyakit kardiovaskular. Gangguan jiwa bisa berupa gangguan jiwa ringan seperti depresi sampai gangguan jiwa berat seperti skizofrenia.
Saat ini sedikitnya 60 persen pasien yang ditangani RUmah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor ada dalam kategori membutuhkan jaminan kesehatan dari pemerintah. "Gangguan jiwa ringan seperti depresi bisa menurunkan produktivitas sehingga beban dana sosial untuk kesehatan meningkat," kata irektur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, dokter spesialis kesehatan jiwa Eka Viora, Sabtu (2/4).
Eka menekankan perlunya peran ibu dalam menekan jumlah penderita penyakit jiwa. Menurutnya, ibu yang sehat dan cukup berpengetahuan akan mampu memastikan kesehatan anak. "Setidaknya, mendeteksi dini gangguan jiwa agar segera diobati," ujarnya.
Sayangnya, data pada 2007 menunjukkan, angka kematian ibu masih 228 per 100.000 kelahiran hidup. Ini masih jauh dari target MDG’s pada tahun 2015, yakni angka kematian ibu 102 per 100.000 kelahiran hidup.
Eka merintis pembentukan komunitas bagi keluarga penderita gangguan kejiwaan yang selama ini dirawat di rumah sakit itu. Sekitar 200 keluarga penderita gangguan kejiwaan, bertemu di Istana Negara Bogor pada hari Sabtu yang dilanjutkan dengan pertemuan dinamika kelompok di Kebun Raya Bogor. "Pertemuan itu menekankan pentingnya pengetahuan dan peranan keluarga terhadap penanganan gangguan kejiwaan," kata Eka.
Sementar itu, Ketua Umum PJS Yeni Rosa Damayanti mengatakan, sekarang saatnya menuntut pemerintah memberikan perhatian lebih kuat terhadap lapisan masyarakat yang menangani persoalan kesehatan jiwa. (Lusia Kus Anna)