Rumah Betang Hampir Hilang

By , Kamis, 7 April 2011 | 06:33 WIB

Jumlah betang, rumah khas suku Dayak, yang menjadi hunian bersama di Kalimantan Tengah, terus berkurang drastis. Banyak penghuni betang yang keluar membangun rumah sendiri.
Pada tahun 1957, saat Kalteng baru terbentuk menjadi provinsi, jumlah rumah betang ditaksir sudah tak lebih dari 100 unit. Padahal, pada abad ke-17, jumlah betang di Kalteng masih ribuan unit. Kini, berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng, jumlah betang di Kalteng sudah berkurang menjadi hanya 42 unit. 
Rumah yang ditinggalkan lambat laun tak terurus hingga akhirnya hilang. Menurut Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalteng, Sabran Achmad, rumah betang memang tak relevan lagi dengan kehidupan saat ini. "Ketinggian lantai betang dari tanah bisa mencapai 4 meter. Anak-anak misalnya, bisa jatuh dan terluka," katanya.
Pembangunan Kalteng digencarkan, termasuk pengadaan jalan-jalan ke berbagai pelosok provinsi. Akses jalan semakin baik membuat penduduk lebih mudah menyebar, termasuk keluar dari betang, juga memicu masuknya pendatang yang tak mengenal budaya hidup bersama dalam satu rumah sehingga memberikan pengaruh kepada masyarakat Dayak.
Betang yang masih ada bisa ditemukan di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, serta Desa Tumbang Malahui, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas. "Dulu, betang bisa dihuni 60 keluarga. Kini, jumlah penghuni betang paling banyak 10 keluarga," kata Sabran, Selasa (5/4/2011) lalu.
Rumah betang yang tinggi berfungsi untuk menghindari serangan satwa liar serta musuh dari suku lain sekarang sudah tak perlu dirisaukan lagi. "Tak bisa dihindari jika banyak betang menghilang. Akan tetapi, perlu diingat dalam kehidupan di betang sebenarnya terdapat falsafah hidup," tutur Sabran.
Falsafah itu yakni kerukunan, kesetaraan, kejujuran, dan kebersamaan. Nilai-nilai itu yang harus dilanjutkan masyarakat Dayak dalam kehidupan saat ini. "Saya lihat, nilai-nilai itu masih dianut kuat meski masyarakat tak lagi tinggal di betang," katanya.
Kepala Bidang Sejarah Purbakala Disbudpar Kalteng Bambang Daryadie mengatakan, setiap betang yang termasuk bangunan cagar budaya memiliki juru pelihara yang merawat rumah itu. Jika betang sudah mulai rusak, juru pelihara bisa mengajukan proposal.
"Supaya betang bisa diperbaiki, proposal bisa diajukan ke Disbudpar kabupaten/kota atau provinsi. Jalan rusak di sekitar betang juga bisa diusulkan untuk diperbaiki," katanya.
Ketua Presidium Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalteng M. Usop mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bangunan betang yang sudah berusia lebih dari 50 tahun seharusnya dirawat dengan biaya dari pemerintah. "Juru pelihara betang juga seharusnya dibina sehingga mereka tahu cara untuk menarik wisatawan datang lewat pameran, upacara adat, atau mengadakan tari-tarian," katanya. (Dwi Bayu Radius)