Tornado yang semakin sering menghantam kawasan Amerika Serikat akhir-akhir ini memancing pertanyaan, apakah ada hubungannya dengan perubahan iklim?
Minggu (23/5), tornado kembali menghantam AS. Kali ini kota Joplin, Missouri yang porak poranda karenanya. Menurut pihak berwenang setempat, sebagaimana dikutip CNN, sampai Jum'at (27/5) korban tewas tercatat 126 orang sementara 232 lainnya masih dinyatakan hilang.
Bulan April lalu, tornado juga muncul di beberapa daerah lain di kawasan selatan Amerika dan merenggut ratusan korban jiwa.
Sementara sebagian orang bertanya-tanya apakah kemunculan tornado yang semakin sering ini akibat perubahan iklim, belum ada jawaban pasti yang bisa diberikan. Pasalnya, sangat sulit untuk mengaitkan sebuah kejadian cuaca dengan perubahan iklim. Penelitian mendalam untuk menyelidiki keterkaitan ini pun masih sangat sedikit.
Grady Dixon, asisten profesor meteorologi dan klimatologi di Mississipi State University, mengakui peningkatan jumlah tornado yang signifikan selama 60 tahun terakhir. Meski begitu, komunitas pengamat tornado sepakat peningkatan yang signifikan itu bukan karena jumlah kejadian tornado yang semakin banyak. "Tapi berkat teknologi pelacak cuaca yang lebih baik, serta semakin banyak penduduk yang mengerti tentang tornado dan lebih sadar untuk mengantisipasinya," kata Dixon.
Tornado merupakan kolom pusaran udara yang membentang dari bawah awan hingga ke permukaan tanah. Kemunculannya bisa dalam berbagai bentuk dan ukuran yang biasanya menghasilkan corong kondensasi yang dikelilingi oleh awan debu dan puing-puing.
Kecepatan angin tornado rata-rata lebih dari 160 kilometer per jam dengan diameter pusaran angin kurang dari 100 meter. Namun pada kejadian ekstrim, diameter tornado bisa mencapai beberapa kilometer dengan kecepatan angin hingga 480 kilometer per jam. (Sumber: Guardian)