Budayawan dan peneliti kebudayaan Kerinci Iskandar Zakari mengatakan nenek moyang masyarakat Kerinci sudah mengenal sistem pembayaran atau alat tukar barang sebelum ditemukannya uang. Ialah cincin anye."Nenek moyang masyarakat Kerinci sudah selangkah lebih maju dari sistem ’barter'," kata Iskandar di Kerinci, Senin (30/5). Hal tersebut menjadi catatan menarik lainnya bagi sejarah perkembangan peradaban Kerinci, mengingat pada masa itu masyarakat di daerah-daerah lainnya masih menggunakan sistem "barter" atau tukar menukar barang.Meskipun demikian, peneliti belum tahu pasti tahun penggunaan cincin tersebut. "Tapi yang pasti, alat pembayaran non-uang tersebut digunakan sejak rakyat Kerinci mengenal kemampuan mengolah logam," tegas Iskandar.Semasa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa-masa awal kemerdekaan RI, cincin anye tersebut masih dipakai warga sebagai alat pembayaran di antara masyarakat setempat. Alat pembayaran ini baru hilang pada tahun 1970-an, digantikan oleh uang resmi.Cincin Anye adalah cincin belah rotan yang terbuat dari campuran antara tembaga dan kuningan. Pada zaman dulu, memiliki cincin menjadi identitas tingkat ekonomi bagi pemiliknya. "Menaikkan statusnya di mata masyarakat," kata Iskandar. Diperkirakan, cincin itu bisa dikenakaan di semua jari tangan sehingga menunjukkan tingkat identitas atau status ekonomi orang bersangkutan di mata yang lainnya. Makin banyak cincinnya makin tinggilah statusnya di mata masyarakat lainnya. Ketika semua jari tidak bisa lagi menampung cincin tersebut, maka mulailah dirangkai dalam seutas tali. Cincin baru yang dimilikinya terus dimasukkan ke temali tersebut hingga penuh. Tali berisi cincin anye itu berikutnya dijadikan kalung. Iskandar menemukan kalung cincin anye sepanjang satu meter. "Mungkin pemiliknya adalah orang yang sangat kaya pada masa hidupnya," rekanya.Cincin anye juga menjadi salah satu materi sesajian yang dipersembahkan dalam satu kegiatan ritual masyarakat yang sampai saat ini masih digunakan. (Jodhi Yudono)