Tingkat emisi gas rumah kaca yang mencapai rekor tertinggi pada tahun lalu menjadi perhatian utama 180 negara yang bertemu di Bonn, Jerman, pada 6-17 Juni.Laporan terbaru International Energy Agency (IEA) yang menyebutkan emisi karbon tahun lalu mencapai 30 gigaton, 5 persen lebih tinggi dari emisi tahun 2008, menarik perhatian negara maju maupun negara berkembang di seluruh dunia. Pasalnya, itu merupakan rekor tertinggi emisi karbon sejak era praindustri, sekali pun penggunaan sumber energi terbarukan juga mengalami peningkatan.Perdebatan sengit diperkirakan terjadi antara negara miskin dengan negara maju. Negara miskin menuding negara maju kurang serius mengurangi polusi. Karena selain industri mereka mengotori atmosfer dengan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya, investasi energi mereka di tahun mendatang pun masih mengandalkan batu bara dan minyak.Sebuah studi yang dirilis Oxfam baru-baru ini (5/6), menguatkan pandangan itu. Laporan berdasarkan analisis Stockholm Environment Institute itu menyebutkan, negara berkembang menyumbang 60 persen dari total reduksi emisi yang disepakati pada KTT Kopenhagen pada tahun 2009.Hal lain yang juga akan jadi perdebatan hangat pada pertemuan di Bonn adalah nasib Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012. Pasalnya, negara-negara maju yang tunduk pada protokol itu, menolak untuk memperpanjang kesepakatannya kecuali China, India, dan Brazil juga menerima kesepakatan tersebut."Ketidakpastian Protokol Kyoto akan membawa ketidakjelasan di masa depan, negosiasi pun akan menjadi lebih suram dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," kata Jake Schmidt dari Natural Resources Defense Council yang berbasis di New York.Di sisi lain, Faith Birol, kepala ekonom IEA menekankan, rekor baru emisi karbon harus menjadi peringatan serius dalam tren penggunaan energi. "Tingkat emisi karbon setinggi itu merupakan kemunduran dari upaya menekan peningkatan temperatur bumi di bawah dua derajat Celsius," tambahnya. (Sumber: Physorg)