Bumi Purba Tak Sepanas yang Diduga

By , Selasa, 22 November 2016 | 13:00 WIB

Beberapa tahun silam, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Syracuse University menemukan bukti yang mendukung hal tersebut. Penelitian terkini mengatakan bahwa suhu air di iklim subtropik mencapai 27 derajat Celsius pada zaman Eocene 50 juta tahun yang lalu, lebih dingin dari prediksi sebelumnya. Menurut Linda Ivany, salah satu peneliti yang turut dalam penelitian, ada buaya hidup di lingkaran Kutub Utara dan  tumbuh pohon palem di Alaska. "Kami ingin tahu seberapa hangat pada daerah lain dan menggunakan informasi ini untuk memprediksi temperatur di masa depan," tambah profesor dari Syracuse University tersebut.

Penelitian terkini mengatakan bahwa suhu air di iklim subtropik mencapai 27 derajat Celsius pada zaman Eocene 50 juta tahun yang lalu, lebih dingin dari prediksi sebelumnya.

Selama Eocene, tingkat karbon dioksida (CO2) di atmosfer lebih tinggi dibandingkan sekarang. Dengan melihat hubungan antara jumlah karbon dioksida dengan temperatur di masa lalu, peneliti dapat terbantu dalam memahami pemanasan global.

Peneliti menganalisis bahan-bahan kimia yang terperangkap dalam fosil moluska bercangkang di Alabama, yang 50 juta tahun yang lalu berupa habitat air yang sangat luas. Studi sebelumnya sudah mengungkapkan bahwa kutub di Bumi sangat panas, sekitar 30 derajat celsius.

"Studi kami menunjukkan bahwa perkiraan sebelumnya suhu selama Eocene awal mungkin berlebihan, terutama di lintang tinggi dekat kutub," kata anggota tim studi, Caitlin Keating-Bitonti, yang juga merupakan mahasiswa bergelar Ph.D. di Universitas Stanford.

"Penelitian ini tidak berarti peningkatan kadar CO2 di atmosfer tidak menghasilkan efek rumah kaca, Bumi jelas panas selama awal Eocene," ungkap Keating-Bitonti. "Hasil kami mendukung prediksi bahwa peningkatan kadar CO2 di atmosfer akan menghasilkan iklim yang lebih hangat dengan musim yang lebih sedikit di seluruh dunia," tambahnya.