Ekspedisi di Pegunungan Sewu Digelar untuk Selamatkan Karst

By , Kamis, 14 Juli 2011 | 08:56 WIB

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menggelar ekspedisi karst di  Pegunungan Sewu, Kabupaten Gunungkidul, DIY pada  10 sampai 15 Juli 2011 untuk menyelamatkan kawasan tersebut dari eksploitasi berlebihan. Selain ingin meneliti fenomena geografis karst, ekpedisi ini juga  berangkat dari keprihatinan penambangan fosfat, kapur, karst, dan kaolin di dinding gua. Mereka juga mengkhawatirkan penjualan gua-gua karst kepada perorangan.
Ekspedisi tersebut dipusatkan di Gua Gilap, Kalisuci, Gilar, Jaran, Songo, Gong, arkeologi di Kecamatan Ponjong, Pantai Paranggupito, dan Klayar. Ekspedisi ini melibatkan 25 tim ekspedisi yang terdiri dari peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan  Universitas Indonesia (UI).
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Meutia Hatta Swasono, juga anggota tim C Ekspedisi Geografi Indonesia, mengaku prihatin dengan pengelolaan gua karst di Gunungkidul yang belum optimal. “Karst ini harus dijaga. Kalau memang karst menjadi kebutuhan ekonomi warga, hendaknya warga diberikan lahan sendiri untuk bisa mengelolanya dengan baik tanpa merusak alam," kata Meutia saat berkunjung di Wana Wisata Turunan Dusun Turunan, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang,Gunung Kidul pada Rabu (13/7). Putri mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta itu memberi contoh,  kawasan karst bisa dijadikan hutan wisata dan warga bisa menjual pangan lokal di area wisata.
Ekpedisi karst ini merupakan ekspedisi karst ketujuh yang telah dilakukan Bakosurtanal setelah daerah Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Tenggara Timur. Kepala Pusat Survei Sumber Daya Alam Darat Bakosurtanal Adi Rusmanto menjelaskan bahwa Gunungkidul merupakan daerah yang unik karena memiliki tata air di bawah tanah. Gunungkidul juga menjadi aset nasional untuk pengembangan konservasi dan wilayah berwawasan lingkungan. Karst juga menjadi sejarah manusia purba dengan beragama sosio kulturalnya.
 “Ada tiga aspek yang menjadi fokus pengamatan kami: aspek biotik, abiotik, dan kultur. Sementara itu pendekatan yang kami gunakan bersifat parsial dan ekologis, ”katanya.
Koordinator Tim Teknis Ekspedisi Geografi Indonesia, Sumaryono menambahkan, selama tiga hari ini,  tim sudah berhasil menemukan beberapa masalah, seperti masalah konservasi dan eskploitasi, kelestarian air, bakteri E.coli yang mencemari air, hingga permasalah sosial masyarakat seperti penambangan batu kapur yang merusak alam.
Hasil temuan ini rencananya akan disampaikan kepada Pemda setempat untuk ditindaklanjuti. Bahkan anggota tim telah menyiapkan kebijakan sebagai solusi untuk setiap masalah.