Tradisi tedak siten masyarakat Yogyakarta yang sudah hampir menghilang dipertontonkan di Gelar Budaya Yogyakarta 2011 pada Kamis (14/7). Ritual yang bertujuan untuk mempersiapkan anak dalam menjalani kehidupan ini dilakukan saat anak berumur 245 hari.
Dalam ritual yang ditunjukkan Kamis kemarin, seorang anak dipapah agar kakinya menginjak jadah (makanan dari ketan) yang memiliki 7 warna: putih, merah, biru, kuning, hijau, oranye, dan ungu. Setelah itu, si ayah menuntunnya menaiki dan menuruni tebu wulung. Seluruh ritual itu bertujuan agar si anak bisa mengatasi kesulitan dalam hidup serta memiliki ketetapan hati dalam mengejar cita-cita.
Upacara naik turun tebu wulung ini dilanjutkan dengan upacara injak tanah oleh anak dengan harapan anak bisa mandiri. Anak kemudian dituntun kedua orang tuanya dengan membawa tebu wulung dan pisang ke sebuah kurungan besar. Di dalam kurungan tersebut sudah berisi bermacam-macam benda, seperti gelang emas, padi, alat tulis, serta alat komunikasi.
“Anak dan ibu akan dimasukkan ke dalam kurungan tersebut. Anak diminta memilih salah satu benda. Kalau memilih gelang emas dan padi diharapkan mereka bisa sukses dan kaya, atau kalau mereka memiliki alat tulis, anak diharapkan dapat berpendidikan tinggi,” papar Bray Atika.
Setelah dikeluarkan dari kurungan, pakaian anak diganti. Rangkaian prosesi diakhiri dengan memberikan uang dan beras kepada saudara-saudara sebagai simbol membagi rezeki.
Bray Atika Suryodilogo, istri Pangeran Pati, salah satu anggota Keraton Pura Pakualaman tak menampik bila upacara adat ini sudah jarang dilakukan di kalangan masyarakat Yogyakarta pada umumnya. "Hanya pihak keraton saja yang masih melestarikan tradisi ini hingga sekarang," katanya.
Upacara ini biasanya dilaksanakan saat anak berumur 245 hari atau tujuh lapan dan jatuh pada hari weton bayi. Upacara ini dilakukan pagi hari pada pukul 10.00 WIB di halaman rumah dengan menggunakan banyu gege, sebutan untuk air yang dijemur di bawah matahari.
Berdasarkan penuturan Bray Antika, upacara tedak siten ini dulunya hanya milik Keraton Pura Pakualaman. Tetapi setelah kerabat keraton menikah dengan warga non keraton, upacara ini berkembang di masyarakat Jogja.