Seekor burung mliwis putih memandang Dewi Renggawati dengan penuh simpatik. Pandangan pertamanya itu menuntunnya pada perasaan cintanya. Akhirnya mliwis putih, yang ternyata jelmaan Prabu Anglidarmo, menyedari bahwa Dewi Renggawati adalah titisan Dewi Setyawati, pujaan hatinya.
Itulah salah satu adegan dalam Tari Serimpi Renggawati, tarian pusaka pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono V. Tarian asli Keraton Yogyakarta ini disajikan dalam ritual kenegaraan seperti peringatan jumenengan dalem, lahirnya Sultan, serta acara internal Keraton. Sementara itu, lima penari akan menari di depan Sultan yang duduk di singgasananya.
“Tarian ini dulunya pernah ditarikan dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore. Menurut cerita para sesepuh, tarian ini adalah tari penghormatan kepada Dewa Wisnu dan Dewa Matahari,” jelas pelatih tari Keraton, Heni Winahyu di sela-sela acara Gelar Budaya Yogyakarta 2011 di Bangsal Pura Pakualaman Yogyakarta, Kamis (14/7).
Sembari menikmati tarian Serimpi di bangsal Pura Pakualaman ini, Heni menceritakan bila tarian ini memiliki filosof, yakni mengajarkan manusia untuk menyeimbangkan segala sesuatu dalam kehidupan, baik duniawi maupun spiritualitas. Selain itu, makna lain dalam tarian ini adalah mengajarkan anak perempuan yang menginjak dewasa pada pengendalian hawa nafsu.
“Ada adegan dimana anak perempuan ini memegang seekor burung. Ini menjadi tanda anak perempuan menjelang dewasa akan mengenal sosok laki-laki. Ketika mereka mengenalnya, anak perempuan harus paham betul mengenai pelajaran seksualitas,” papar wanita yang saat itu berkebaya merah.
Ada hal yang menarik dalam tarian tersebut. Sosok Dewi Renggawati harus ditarikan oleh seorang gadis yang belum mengalami menstruasi. Bahkan pada masa HB V dulu, yang diperbolehkan menjadi sosok Dewi Renggawati adalah putra atau cucu Sultan. Sebelum menari pun, penari juga diwajibkan berpuasa. Pada masa sekarang ini, tarian ini sudah banyak dimodifikasi dengan neragam koreografi. Waktunya pun dipersingkat menjadi 30 menit.