Pemerintah sedang menyiapkan sebuah sistem informasi yang memungkinkan siapa pun bisa mengawasi proses berjalannya proyek-proyek REDD+. Sistem yang mirip media sosial tersebut direncanakan diluncurkan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus mendatang.
Demikian disampaikan Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) dalam acara seminar publik bertema "Pertumbuhan Ekonomi Rendah Emisi: Mau ke Mana?" di Jakarta, Kamis (28/7).
"Nantinya, siapa pun yang punya ponsel berkamera dan berinternet bisa memotret hutan di mana saja terdapat proyek REDD+, mengisikan koordinatnya, lalu mengirimkannya ke kami disertai komentar. Dengan begitu, kami bisa memantau persoalan di lapangan dengan lebih baik," ujar Kuntoro. Sistem partisipasi terbuka ini juga diyakini sebagai cara terbaik dan efisien dalam menyusun strategi nasional REDD+ dan mitigasi perubahan iklim khususnya dari sektor kehutanan.
Dalam presentasinya, mantan Kepala Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias ini memaparkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi. "Target pertumbuhan ekonomi 7 persen dan pengurangan emisi 26 persen bisa dicapai dengan pendekatan 'business not as usual', yakni dengan mendesain kebijakan dan implementasi secara cerdas serta memastikan keterlibatan semua pihak," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Head of Forest Campaigner Greenpeace Bustar Maitar menyatakan bahwa apa yang indah di atas kertas bertolak belakang dengan apa yang terjadi di lapangan. "Bersamaan dengan keputusan moratorium (penundaan) ekspansi lahan hutan dan gambut, di lapangan justru masih banyak perusahaan yang membuka lahan di kawasan yang sudah ditetapkan sebagai wilayah moratorium, sehingga banyak sekali tumpang tindih antara kawasan moratorium dengan area konsesi hutan," paparnya.
Menurut data Greenpeace, dari 45 juta hektare yang termasuk dalam peta moratorium yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, sebenarnya hanya 12 juta hektare, sisanya adalah area yang sudah terbebani konsesi seperti HTI (Hutan Tanaman Industri), HPH (Hak Penggunaan Hutan), perkebunan, dan pertambangan batu bara.
Di sisi lain, menurut Bustar, terlepas dari soal ada-tidaknya dana asing untuk proyek REDD+, perlindungan terhadap hutan tetaplah harus dilakukan dan menjadi semakin mendesak. "Uang itu anggap saja sebagai bonus," katanya.
REDD (reducing emission from deforestation and forest degradation) adalah upaya global untuk menurunkan emisi dari proses deforestasi dan kerusakan hutan, termasuk kompensasi untuk manfaat tambahan seperti menjaga keanekaragaman hayati di dalamnya. Salah satu upaya yang dianggap mendesak adalah dengan memberlakukan moratorium (penundaan) pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer yang kemudian dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011. Moratorium ini juga merupakan tindak lanjut dari komitmen Norwegia untuk memberikan hibah sebesar 1 miliar dolar AS (sekitar Rp9 triliun) untuk pengelolaan hutan, yang dituangkan dalam nota kesepahaman (letter of intent) pada 20 Mei 2010.
Ekonomi Rendah Karbon
Kebijakan terakhir pemerintah terkait perubahan iklim adalah berkomitmen untuk berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim global dengan secara sukarela menurunkan emisi sebesar 26 persen dari perkiraan emisi skenario business as usual pada 2020, dengan biaya sendiri. Target angka tersebut bisa lebih tinggi (hingga 41 persen) jika Indonesia mendapat bantuan internasional.
Menurut Mubariq Ahmad, Konsultan Senior untuk Kebijakan Perubahan Iklim Bank Dunia, yang juga hadir sebagai pembicara dalam seminar, target tersebut memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan ekonomi rendah karbon (ERK). "Ekonomi rendah karbon adalah win-win solution bagi Indonesia yang rentan terhadap dampak perubahan iklim," katanya.
Mubariq mengatakan, ERK berangkat dari asumsi awal bahwa peningkatan gas rumah kaca disebabkan oleh meningkatnya aktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Karenanya, ERK bertujuan untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi tapi di sisi lain juga mengurangi dampak perubahan iklim lebih jauh. "ERK bisa dilakukan dengan mengubah arah pertumbuhan saat ini menuju pertumbuhan dengan jejak karbon lebih sedikit. Kedua, dengan dekarbonisasi ekonomi dengan cara mengubah dan mengadopsi teknologi produksi rendah karbon, dan perubahan gaya hidup masyarakat," papar Mubariq.
Dari sektor industri sawit, yang dianggap sebagai biang deforestasi dan pada akhirnya meningkatkan angka emisi karbon di Indonesia, ekonomi rendah karbon bisa dicapai salah satunya dengan "menghentikan ekspansi perkebunan sawit dan mengoptimalkan produksi kebun sawit yang sudah ada," kata Jefri Saragih, Kepala Departemen Kampanye dan Edukasi Publik Sawit Watch. Menurutnya, produktivitas industri sawit nasional amat buruk jika dibandingkan dengan ekspansi lahan yang terus menerus dilakukan. Hal lainnya yang bisa dilakukan, menurut Jefri, adalah mengembangkan industri hilir, terutama biofuel, berbahan baku minyak sawit.