Status Kehutanan Masyarakat di Indonesia saat ini semakin menjajaki langkah kemapanan. Inilah yang mantap diperdengarkan dalam Pertemuan Nasional Kehutanan Masyarakat 2011 yang berlangsung 6-9 September 2011 di Cisarua, Jawa Barat.Forum dengan tema "Memantapkan Posisi Kehutanan Masyarakat dalam Pasar Global dan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Indonesia" tersebut mendiskusikan antara lain pengelolaan hutan berkelanjutan dan membawanya untuk menghadapi pasar global.Pada topik pembahasan yang mengangkat isu Kehutanan Masyarakat (KM) dan tantangan legalitas kayu, hari Rabu (7/9) kemarin, pembicara Dirjen Bina Pengelolaan DAS & Perhutanan Sosial Harry Santoso mengatakan, peluang industri hutan rakyat besar. "Industri hutan rakyat memiliki keunggulan komparatif, karena sumber daya yang sifatnya renewable, serta lahannya mendukung. Tinggal penetapan arah kerja dan legalitas normatif," ujarnya.Sekarang, kata Harry lagi, prioritas pemerintah yaitu mempercepat akses nyata melalui tiga skema kajian strategis: pembaruan kebijakan, perluasan (ekstensifikasi), serta pengembangan (intensifikasi) KM. Target di tahun 2014 telah ada sekitar 2 juta hektare kawasan hutan rakyat.Berdasarkan UU No. 41/1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisinya berbeda dengan hutan negara, hutan yang tumbuh di atas tanah tanpa hak milik. Senada dikatakan oleh Harry, "Hutan rakyat itu hutan milik, bukan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah hanya mendukung, berupa subsidi dalam bentuk insentif atau bonus." Dengan demikian diharapkan kelestarian hutan makin terjaga karena kontribusi dari masyarakat yang ikut memilikinya.Diah Raharjo dari Kehati, salah seorang pembicara lain, menyinggung soal SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) . "Mengapa kita perlu SVLK? Karena ke depan isu pasar terhadap kebutuhan kayu legal sudah meluas, sudah masuk dalam wilayah industri (kehutanan) masyarakat pula," ia menjabarkan.Menurut Diah, pendampingan bagi masyarakat sangat memungkinkan. Namun tentu memerlukan peningkatan kapasitas pemahaman para pendamping terhadap dokumen-dokumen seperti SKU tanah, untuk menghindari gap di lapangan yang kerap terjadi.Peran pendamping ini sangat penting terutama untuk industri-industri kecil. "Kalau industri besar, mereka jelas bisa melakukan sendiri," imbuh Diah.Sementara Mustofa Agung Sardjono, peneliti senior Center for Social Forestry menulis dalam Jurnal Kehutanan Masyarakat yang diterbitkan FKKM, "Merealisasikan Kehutanan Masyarakat tidaklah semudah menuliskan definisinya yang begitu ideal. Meski sudah cukup lama dimulai, jalan ke depan bagi pengembangan KM masih panjang, masih sangat banyak yang harus dipelajari."