Pernikahan putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Bendara atau Jeng Reni, pada 16-18 Oktober mendatang tampak istimewa dibanding pernikahan ketiga putri Sultan sebelumnya.
Pernikahan Jeng Reni dan Ubai, atau sapaan pengantin pria akan menggunakan tradisi pernikahan zaman Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1920).
Tradisi pernikahan zaman HB VII terletak pada prosesi menjelang resepsi. Pada hari ketiga hajatan atau 18 Oktober, kedua pengantin akan diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Kepatihan (Komplek Kantor Gubernur) menggunakan kereta Kanjeng Kyai Jatayu. Inilah prosesi kirab kereta yang menjadi simbol mengenalkan kedua pengantin pada masyarakat Yogyakarta.
Kereta pengantin ini akan diiringi kereta lain yang membawa kerabat keraton dan prajurit keraton. Dan sesampainya di Kepatihan, pengantin akan disambut dengan tarian khas Jogja, tari Bedoyo Temanten dan Bedoyo Lawung Ageng.
Saat proses kirab kereta ini berlangsung, Jalan Malioboro akan ditutup sementara. Namun begitu,seluruh masyarakat Yogyakarta diperbolehkan untuk melihat kedua pengantin.
Prosesi kirab kereta ini sebelumnya tidak dilakukan oleh ketiga putri Sultan sebelumnya. Momen ini terbilang langka dan menjadi wujud pelestarian budaya Jogja. Tak hanya itu,moment ini diharapkan menjadi daya tarik wisatawan yang saat itu mengunjungi Jogja.
Aura pernikahan kerajaan HB VII juga terlihat dari busana yang dikenakan pengantin. Pengantin menggunakan busana model HB VII dengan motif batik semen. Motif ini dirancang oleh perancang busana ternama, Afif Syakur, dan akan digunakan saat berdandan basahan atau paes ageng.
"Motif batik ini bercorak flora dan fauna yang menggambarkan makna seseorang yang berbudi mulia dan budi pekerti luhur. Motif semen juga bercerita tentang kehidupan manusia dari lahir hingga meninggal,"papar Afif di sela fitting baju pengantin di Keraton Kilen Yogyakarta, Kamis (13/10).
Dirinya menambahkan, pengerjaan batik semen berwarna biru indigo dengan warna emas ini memerlukan waktu 9 bulan. Untuk pengantin putri ukuran kain mencapai 4,5 meter.
Sementara itu, proses adat pernikahan Yogyakarta tetap dilakukan seperti sebelumnya. Diantaranya siraman, midodareni, plangkahan, ngabekten, ijab kabul, dan berbagai upacara adat lainnya.