'Sabuk hijau' yang sempat subur dan rimbun mengelilingi Niamey, ibukota Nigeria dan dibuat sekitar 50 tahun lalu untuk mencegah perluasan gurun Sahara, kini di ambang kemusnahan. Penyebabnya, eksodus besar-besaran warga Nigeria ke kawasan sekitar proyek penghijauan itu akibat menurunnya hasil panen di kampung halaman memaksa mereka menebang pepohonan di sana untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menurut Maman Ibrahim, Regional Environment Director for the Greater Authority of Niamey, sabuk hijau yang dibuat pada tahun 1965 itu sempat mencapai luas 2.500 hektar. Pohon yang paling umum ditanam di kawasan itu sendiri adalah pohon Neem, yang memiliki kemampuan tumbuh di lingkungan ekstrim seperti padang pasir. Namun selama beberapa dekade terakhir, orang-orang yang tinggal di sekitar kawasan ini telah menebang dan membakar pohon-pohon itu.
“Sampai tahun 1993, ada sekitar 30 petugas yang menjaga kelestarian hutan tersebut,” kata Ibrahim. “Namun kini petugas sudah tidak lagi bekerja karena tidak ada pasokan dana untuk menggaji mereka dan menyediakan bahan bakar bagi kendaraan para petugas kehutanan,” ujarnya.
Ibrahim menyebutkan, proyek pencegah perluasan gurun sahara senilai sekitar Rp54 milyar yang diimplementasikan dalam sejumlah tahapan antara 1965 sampai 1993 itu didukung oleh PBB dan World Bank.
Undang-undang kehutanan Nigeria yang berlaku sejak 2004 sendiri menyebutkan, tidak boleh ada aktivitas komersial di sekitar kawasan sabuk hijau. Pelanggar, apalagi mereka yang merusak hutan akan dikenai denda antara Rp900 ribu sampai Rp9 juta atau kurungan tiga bulan.
“Namun berhubung penjagaan kini sudah tidak ada, pencuri menjadi tidak khawatir,” kata Illia Yahaya, Head of the Reforestation Service, Regional Department for Environment for the Greater Authority of Niamey. “Perusakan terhadap hutan kini semakin berlanjut dan ancaman akan meluasnya gurun sahara semakin meningkat,” ucapnya. (Sumber: Times Live, AFP)