Menurut riset UN Population Fund (2000), pada tahun 2050 mendatang akan ada penambahan populasi 2,32 milyar jiwa yang tersebar di seluruh dunia, yang otomatis harus dipenuhi kebutuhan pangannya di bawah tekanan ancaman perubahan iklim yang makin berat.Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir.Sunarru Samsi Hariadi mengatakan isu keamanan pangan dunia adalah isu penting yang menjadi perhatian dunia. Data FAO-UN tahun 2009 memperkirakan sekitar 1,02 milyar jiwa di dunia sedang mengalami kekurangan pangan dan kelaparan.Sunnaru melanjutkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan persoalan pangan makin rumit, antara lain kegagalan produksi pangan karena dampak perubahan iklim serta terpinggirkannya kebijakan investasi pertanian.Sementara, untuk konteks nasional, budaya masyarakat Indonesia masih terbelenggu dengan nasi. Padahal keanekaragaman bahan pangan pengganti nasi masih banyak.
Tak hanya itu, Indonesia masih kekurangan lebih dari 30.000 penyuluh pertanian. Idealnya sebuah desa memiliki satu orang penyuluh pertanian. "Indonesia perlu mempertimbangkan potensi keragaman sumberdaya pangan nasional agar Indonesia bisa memimpin dan menjamin pangan nasional. Bahkan, bisa memasok kebutuhan masyarakat internasional," tambahnya.Sementara itu, untuk menghadapi krisis pangan ini, Yogyakarta pun tengah meneliti 10 jenis umbi yang dinilai potensial berpotensi menjadi alternatif pangan nasional pengganti beras yaitu singkong,ubi jalar,uwi, suweg, kimpul, kentang kleci, gembili, garut, ganyong, gadung, dan talas.Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY, Asikin Chalifah, menjelaskan, 10 umbi ini sedang dikaji oleh pemerintah pusat khususnya untuk aspek kesehatannya. Rencananya pemanfaatan umbi Yogyakarta akan dimanfaatkan seluruh daerah di Indonesia baik untuk alternatif sumber pangan dan obat untuk kesehatan."Pemanfaatan umbi ini menjadi salah satu upaya untuk menurunkan konsumsi beras nasional sebanyak 1,5 persen per tahunnya sesuai program pemerintah saat ini," papar Asikin.