Mitigasi Perubahan Iklim Sebaiknya Berbasis Komunitas

By , Kamis, 17 November 2011 | 14:29 WIB

Konsep mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berbasis komunitas dinilai menjadi sebentuk langkah riil untuk menanggapi perubahan iklim global.

Ini yang menjadi fokus dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh para akademisi dari Erasmus University Rotterdam, Ca' Foscari University of Venice, Soegijapranata Catholic University of Semarang, dan The University of Witwatersrand South Africa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (16/11).

Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Prof. Suratman mengatakan, dampak perubahan cuaca saat ini adalah terjadinya kenaikan air laut yang menyebabkan abrasi. Ini menyebabkan adanya bencana dan kerusakan baik infrastruktur, budaya maupun sarana dan prasarana. "Ini harus diantisipasi," katanya. "Bahkan ada ancaman pulau-pulau yang tenggelam."

Perubahan iklim juga mengancam ketersediaan pangan. Saat ini ada 7 milyar penduduk dunia dan diperkirakan ketika bumi didiami 10 milyar orang akan terjadi rebutan lahan. Menghadapi masalah ini diperlukan rencana jangka panjang terkait konservasi vegetatif dengan membuat hutan kota, danau kota, serta tidak langsung membuang air ke laut. Penggunaan kendaraan yang memicu pencemaran udara juga harus dikurangi.

Meski saat ini dunia, terutama Eropa tengah mengalami keguncangan akibat krisis ekonomi, Suratman optimistis upaya menekan laju perubahan iklim akan tetap berjalan selama komitmen tersebut dipertahankan.

Danang Sri Hadmoko dari Biro Kerjasama Luar Negeri Fakultas Geografi pun menambahkan bahwa pertemuan ini diharap bisa memperkuat kerja sama dalam mengelola isu climate change. Dalam konferensi ini akan dibangun jaringan di tingkat ASEAN dalam menghadapi perubahan iklim.

UGM sendirilah menawarkan konsep mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis komunitas. Ia mencontohkan masyarakat Indonesia di pesisir memiliki kemampuan psikologis dalam menghadapi bencana. Misalnya rumah kebanjiran maka beradaptasi dengan meninggikan tanggulnya. Di sisi lain, di luar negeri sistem asuransi berjalan dan mengganti semua kerugian karena bencana.