Aroma Pesimistis dari Durban

By , Jumat, 25 November 2011 | 16:29 WIB

Kurang dari seminggu lagi, tepatnya 28 November 2011, pertemuan para pihak (conference of parties/COP) ke-17—ajang tahunan internasional guna membahas perubahan iklim—akan berlangsung di Durban, Afrika Selatan. Di tengah kondisi iklim yang kian tidak menentu, pertemuan paling akbar seputar perubahan iklim tersebut juga meruapkan aroma ketidakpastian. Setidaknya hal itu tecermin dari para pembicara diskusi "Durban di Persimpangan Jalan" di Jakarta, Selasa (22/11) lalu.

"Menurut 'bola kristal' saya, sepertinya Durban belum akan menghasilkan legally binding agreement baru. Setidaknya butuh tiga sampai lima tahun lagi untuk itu," ujar Nyoman Iswarayoga, Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia.

Padahal, COP 17 ini diharapkan menghasilkan kejelasan soal masa depan Protokol Kyoto yang periode pertamanya berakhir tahun 2012. Protokol Kyoto adalah satu-satunya komitmen internasional yang mengikat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca negara-negara industri. Uni Eropa dikabarkan telah menawarkan untuk melanjutkan komitmen ini, dengan syarat: negara maju lainnya bersedia bergabung. 

Di sisi lain, negara-negara maju seperti Jepang, Rusia, dan Kanada menolak mendukung komitmen Uni Eropa tersebut kecuali jika negara-negara berkembang—yang sebetulnya tidak dibebani amanat untuk mengurangi GRK—bersedia untuk ikut. Jalan buntu ini mengancam seretnya proses konsensus di Durban nanti.

Isu kunci lain yang bakal menjadi agenda panas di Durban adalah REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Selain karena deforestasi dan degradasi hutan menyumbang sebanyak 20 persen dari emisi global—paling besar di antara penyebab lain, pembahasan REDD+ kian penting karena masih banyak keputusan soal ini yang masih menggantung di COP sebelumnya di Cancun, Meksiko, pada November 2010 lalu.

Hal yang krusial, utamanya bagi negara-negara berkembang yang "dimandatkan" untuk ikut berpartisipasi dalam mitigasi perubahan iklim adalah mengenai pembiayaan jangka panjang untuk mengurangi emisi serta dana adaptasi bagi negara-negara yang terkena dampak perubahan iklim,  Indonesia termasuk di dalamnya.

Dalam hal ini, WWF-Indonesia mengusulkan untuk meningkatkan pembiayaan dari negara maju sebesar US$10 miliar setiap tahun, dimulai dengan US$20 miliar pada 2013 sehingga bisa mencapai US$100 miliar pada tahun 2020, sesuai kesepakatan negara-negara maju dalam COP 15 di Kopenhagen, Denmark, dua tahun lalu. 

Iwan Wibisono, Koordinator Kebijakan Iklim Terkait Hutan, WWF-Indonesia, menjelaskan bahwa bagi Indonesia setidaknya ada dua isu utama yang perlu terus didesak dalam negosiasi perubahan iklim multilateral seperti COP. "Pertama adalah peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, dan pembiayaan untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi," katanya di sela-sela diskusi.

Menurut Iwan, terlepas dari kemajuan di level internasional, kebijakan di tingkat nasional saat ini setidaknya sudah pada jalur yang benar, misalnya dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), meski menurutnya Perpres itu masih kekurangan beberapa elemen penting.

"Di tingkat nasional, kita harus mempersiapkan infrastruktur tata kelola REDD+, menetapkan Strategi Nasional, juga membenahi kelembagaan untuk mengurangi ketidakpastian," papar Iwan. Pelaksanaan kegiatan percontohan, imbuhnya, juga perlu terus didorong sebelum Indonesia masuk tahap implementasi penuh REDD+. Saat ini, dari sembilan provinsi percontohan (Pilot Province) yang diusulkan, baru satu yang berjalan, yakni Provinsi Kalimantan Tengah.

Meski Durban kemungkinan diliputi awan suram, segala inisiatif yang bertujuan untuk mengurangi dampak perubahan iklim di dalam negeri tetaplah harus didorong. Perubahan iklim, dengan atau tanpa bantuan asing, tetap akan menimpa kita karena kita tinggal di planet yang sama. "Lagi pula, walaupun REDD+ 'bubar', misalnya, kita tetap membutuhkan hutan, bukan? REDD+ bukanlah soal proyek yang mendatangkan uang, melainkan soal bagaimana menuju tata kelola hutan yang lebih baik," ujar Iwan memungkasi diskusi.