“Kaluak paku kacang balimbiang, timpuruang lenggang lenggokanBawo manurun ka Saruaso, tanam siriah jo gagangnyo.Anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkanHormati kampung jangan sampai binasa, hormati serta adatnya. ”
Pepatah itu begitu mengakar dalam masyarakat Minang. Maknanya menjadi salah satu tradisi luhur Suku Minang. Pepatah ini diabadikan pada songket motif Kaluak Paku. Motif lain seperti Pucuak Rabuang, Saluak Laka, dan Saik Ajik Babungo pun memiliki filosofi tersendiri.Songket bukan hanya mencakup nilai estetika dan kerumitan teknik pembuatannya. Ada falsafah adat di sana. Kandungan makna inilah yang menjadikan Songket Minang berharga dan diakui sebagai warisan budaya dunia.Dalam upaya melestarikan dan memperkaya warisan budaya dunia ini, pasangan suami istri Bernhard Bart-Erika Dubler dan Alda Wilmar-Nina Rianti menggelar pameran songket di BBJ (Bentara Budaya jakarta), 24 November – 4 Desember 2011. Pameran dengan tema “Replika dan Konservasi Songket Lama Minangkabau” ini menampilkan lebih dari dua puluh delapan kain.“Setiap motif memiliki makna yang tersurat, tersirat, dan tersembunyi. Inilah kekhasan songket minang yang menghadirkan nuansa magis, religis, dan prestise,” ungkap Iswandi, kordinator Pameran Songket Lama Minangkabau di BBJ, (2/12).Songket yang dipamerkan merupakan replika songket dari berbagai museum, di antaranya Museum Adityawarman (Padang, Indonesia), Museum Tropenhuis (Amsterdam, Belanda), Fowler Museum (Los Angeles, AS), koleksi Volkerkundliche Sammlung (St. Gallen, Swiss).“Songket-songket itu difoto di museum asalnya kemudian dibuat ulang di Studio Songket Erika Rianti. Bahan-bahannya berasal dari Pelembang, Kalimantan, Perancis, dan India,” ujar Bernhard Bart pada sarasehan (2/12). Hadir juga Prof. Dr. Edi Sedyawati sebagai narasumber sarasehan. “Songket Minang sangat berharga. Bila Songket Minang masuk industri, harus jelas hak cipta ada pada siapa,” ujar Prof. Edi. (Kartika Pandu)