Tiga kewajiban RI Pasca Konferensi Perubahan Iklim Durban

By , Selasa, 13 Desember 2011 | 10:20 WIB

Konferensi Perubahan Iklim PBB, Konferensi Para Pihak ke-17/ Pertemuan Para Pihak untuk Protokol Kyoto ke-7 (COP-17/CMP-7) akhirnya selesai digelar di Durban, Afrika Selatan, Minggu 11 Desember 2011 lalu. Penutupan ini mundur dua hari dari waktu yang seharusnya yakni 9 Desember.Meski Konferensi tahun ini dianggap kurang menghasilkan keputusan berarti, ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis yang melanda Tanah Air. Menurut Direktur Program Iklim dan Energi, WWF-Indonesia, Nyoman Iswarayoga, paling tidak ada tiga 'pekerjaan rumah' bagi Pemerintah Indonesia.Pertama, persiapan instrumen atau elemen infrastruktur untuk implementasi atau operasionalisasi penuh. Paling tidak ada instrumen dasar seperti Strategi Nasional, termasuk di dalamnya REL/RL, MRV, dan sistem informasi pengaman (safeguard). Kedua, penerapan komitmen sukarela yang sudah tertuang melalui Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK. Sehingga kelanjutan dan kepastian dari berbagai proyek awal REDD+ ini ada.Ketiga, dengan program nyata seperti  REDD+ dan RAN GRK bisa membuat posisi Delegasi Indonesia berperan penting dalam kehidupan pasca Konferensi Durban. Khususnya untuk mendorong negara-negara maju  untuk mewujudkan komitmen mereka. Pertemuan di Durban sendiri diaggap gagal menemukan kesepakatan yang lebih mengikat soal penyelamatan lingkungan. Hasil ini bukan kejutan, karena rata-rata negara masih didominasi tekanan politik domestik. Bahkan, beberapa negara maju belum mau menunjukkan kemauan yang kuat untuk memberikan dukungan terhadap kesepakatan multilateral.Tapi paling tidak Konferensi kali ini sepakat melanjutkan Protoko l Kyoto ke tahap kedua. Tahap pertama Protokol Kyoto berlaku 2008-2012. Sedangkan tahap kedua masih belum diputuskan di anatara dua pilihan durasi waktu, antara 1 Januari 2013-31 Desember 2017 atau  1 Januari 2013-31 Desember 2020.