Balai Konservasi Peninggalan (BKP) Borobudur meluncurkan buku trilogi, "Seratus Tahun Pasca Pemugaran Borobudur: Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur" pada 27 Desember 2011. Seabad lalu, Theodoor van Erp, seorang insinyur dalam kesatuan zeni Belanda, merampungkan pemugaran pertama dalam sejarah candi ini pada 1907-1911.Dalam kesempatan ini Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Wiendu Nuryanti meresmikan Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur dan Monumen Abu Vulkanik. Jelang siang, sebuah seminar bertajuk "Borobudur: Dulu, Kini, dan Esok" digelar di sebuah hotel di kawasan taman candi ini. Acara dalam rangkaian peringatan ini menghadirkan pembicara Prof. Dr. Timbul Haryono dari UGM, ahli soal relief Borobudur; Prof. Dr. Mundardjito dari UI, ahli dalam arkeologi masa klasik Indonesia yang turut dalam konservasi Borobudur awal 1980-an; dan Dr. I Gde Ngurah Anom, mantan Dirjen Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peningggalan Sejarah (Ditlinbinjarah)."Borobudur itu ibarat kamus, menyimpan informasi tentang ilmu pengetahuan yang membutuhkan penelitian lebih lanjut," ungkap Timbul.Menurutnya hal itu merupakan tantangan para ilmuwan, bukan hanya arkeolog, tetapi para ilmuwan dari disiplin ilmu apapun.Dalam kesempatan ini Mundardjito mengenang ketika timnya harus bekerja berlomba dengan buldoser yang meratakan tanah dalam proyek pembangunan taman wisata Borobudur awal 1980-an. "Saya seringkali di belakang buldoser, menemukan pecahan tembikar dan arca," kenangnya.Menurutnya pembangunan tempat wisata versus konservasi hingga kini masih menjadi masalah di Indonesia. Mundardjito mengajak para arkeolog dan peneliti untuk melakukan penggalian di area borobudur. "Jadi daerah ini tak hanya digunakan sebagai taman wisata, tetapi juga dipersembahkan bagi penelitian," ujarnya seraya menambahkan, "Kita harus belajar banyak dari kesalahan terdahulu untuk melangkah ke depan.Sedangkan Anom berpendapat bahwa kita harus memandang masa lampau seutuhnya. "Kalau tidak bisa memandang seutuhnya, berarti kita tidak bisa membangun seutuhnya."Dalam merekonstruksi atau memugar candi, Anom mengatakan bahwa kita harus tahu bagaimana candi itu dibangun karena pada dasarnya pekerjaan ini punya kecenderungan merusak.Sore hari usai seminar, National Geographic Indonesia melawat ke candi Borobudur bersama dua guru besar arkeologi UI .Dalam relief Karmawibhangga, jumlah para bhiksu justru digambarkan lebih sedikit daripada jumlah pertapa Shiwa. Sambil berjalan menuju tangga candi Prof. Dr. Hariani Santiko berkata "Itulah salah satu contoh keteladanan soal kerukunan beragama yang tergambar di relief Borobudur."Di lorong Lalitawistara Prof. Dr. Agus Aris Munandar menjelaskan cara peziarah memandang relief-relief itu, lalu mulai menceritakan panil-panil relief. Bagi kedua guru besar itu Borobudur tetap menjadi hal luar biasa untuk masa lalu, kini, dan esok. (Oleh: Mahandis Y.Thamrin)