Maladewa, salah satu negara mungil di kawasan Samudera Hindia, mulai memikirkan rencana untuk mengungsi. Sebab, negara yang hanya terdiri dari sekumpulan atol (suatu pulau koral yang mengelilingi sebuah laguna) ini terancam tenggelam karena perubahan iklim. Panel Penyidik Perubahan Iklim memprediksi jika level air laut akan naik sebanyak 59 sentimeter di abad berikutnya. Ini membuat beberapa beberapa wilayah di Maladewa akan hilang sama sekali dari permukaan Bumi. Kemungkinan ini membuat Presiden Maladewa Mohamed Nasheed mulai bersiap memindahkan warganya ke negara lain yang lebih aman.
Salah satu negara tetangga yang dianggap mampu adalah Australia. "Dalam cara paling alami, semakin sulit untuk mempertahankan pulau ini," kata Nasheed dikutip dari Syndey Morning Herald, Sabtu (7/1). "Jika semua (negara) di sekitar Australia terlalu miskin dan tidak mampu mempertahankan diri sendiri, artinya akan lebih baik memulai hidup di Australia bukan?," ujarnya lagi. Maladewa sebenarnya adalah negara indah yang mengambil keuntungan besar dari sektor pariwisata. Lokasinya yang dikelilingi pantai pasir putih dan laut biru membuatnya jadi kawasan favorit perjalanan dan bulan madu. Namun, lokasi ini pula yang berbalik mengancam keberlangsungan hidupnya.
80 persen dari lahan Maladewa hanya berada kurang satu meter di atas permukaan air laut dengan titik tertingginya hanya 2,4 meter. Bahkan sudah ada 14 pulau kecil yang harus ditinggalkan karena erosi laut. Kondisi ini membuat negara berpopulasi 350.000 orang itu harus segera mencari 'negara baru' untuk mengungsi.
"Jika negara lain tidak mau berbuat baik demi kepentingan diri sendiri, maka mereka harus berbuat baik untuk orang lain di sekitar (negara) mereka," kata Nasheed yang mengaku tidak ingin melihat warganya tidur di tenda pengungsian.
Maladewa bukanlah negara pertama yang membidik Australia sebagai negara pengungsian warganya. Satu dekade lalu, Pemerintah Tuvalu, negara kecil di utara Selandia Baru dan terletak di Laut Pasifik, meminta bantuan imigrasi untuk 12.000 warganya agar bisa pindah ke Australia. Hal ini disanggupi Pemerintah Australia karena mengganggap itu adalah kewajiban kemanusiaan untuk orang yang 'membutuhkan pertolongan dengan cepat.' (The Sydney Morning Herald)