Waspadai Mendengkur

By , Jumat, 16 Maret 2012 | 18:30 WIB

Kebiasaan mendengkur dan sering terhenti napas bisa memicu berbagai penyakit. Masyarakat pelu memahami, mendengkur bukan akibat tidur nyenyak. Saat ini diperkirakan 10.519.982 orang Indonesia punya kebiasaan itu.

"Mendengkur adalah gejala obstructive sleep apnea (OSA), yaitu tersumbatnya jalan napas bagian atas," kata Rimawati Tedjasukmana, dokter spesialis saraf Rumah Sakit Medistra dalam lokakarya "Bahaya kematian di Balik Mendengkur", Kamis (15/3), di Jakarta. Lokakarya memperingati Hari Tidur Sedunia 16 Maret.

World Association of Sleep Medicine memperkirakan, gangguan tidur yang mengancam kesehatan dihadapi 45 persen populasi dunia. Gangguan tidur kategori OSA berat ditandai dengan berhenti napas lebih dari 30 kali per jam. Henti napas itu berlangsung antara 10-120 detik atau lebih.

Menurut Rimawati, gejala OSA adalah dengkuran keras, terengah-engah saat tidur, sakit kepala saat bangun pagi hari, kerongkongan kering, dan sering buang air kecil pada malam hari. OSA juga menimbulkan gangguan kejiwaan, seperti mudah tersinggung, tak dapat berkonsentrasi, suasana hati berubah-ubah, dan depresi.Picu berbagai penyakit

Berhenti bernapas pada OSA merusak pembuluh darah, jantung, dan otak. Saat berhenti napas, tekanan darah naik. Tekanan darah yang tinggi merusak dinding pembuluh darah, menarik kolesterol dan kalsium, serta menyempitkan pembuluh darah dan berisiko tersumbat.

Rimawati menyatakan, OSA bisa menyebabkan penyakit hipertensi (41,4 persen), gangguan jantung (18,8 persen), diabetes (12,9 persen), dan stroke (4,1 persen). OSA dapat diobati. Bagi yang berisiko OSA, kata Rahmawati, sebaiknya memeriksakan pola tidur dengan mesin polysomnography yang akan mencatat aktivitas listrik otak, pernapasan, denyut jantung, dan pergerakan anggota gerak selama tidur semalaman.

Teknologi Terapi

General Manager Philips Healthcare Teguh E Purwanto mengatakan, perusahaannya merancang teknologi untuk terapi OSA dengan continuous positive airways pressure (CPAP). Alat ini mampu mengantisipasi henti napas pada penderita OSA. "Kami pernah meriset. Hasilnya, 20 persen dari 1.004 responden mengalami gangguang tidur," kata Teguh.

Hadir dalam acara itu, Jaja Soeharto Moedali (77), penderita OSA. Ia mengatakan, tiga tahun lebih ia menjalani terapi CPAP. Pebisnis ikan hias itu masih aktif menyetir mobil sendiri di Jakarta.