Peneliti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rusdi Maslim menegaskan bahwa masalah kesehatan jiwa di Indonesia cenderung meningkat dalam era globalisasi. Namun, pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia dianggap masih jauh dari cukup.
Dari hasil penelitiannya, prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55 persen, di mana angka tersebut tergolong sedang dibanding dengan negara lainnya. Proporsinya adalah gangguan penyakit fisik kronis sebesar 35,12 persen dengan rata-rata kehilangan hari produktif 15,23 hari dan kekerasan dalam rumah tangga sebesar 17,74 persen dengan rata-rata kehilangan hari produktif 13,53 hari. Berikutnya gangguan jiwa sebesar 8,04 persen dengan rata-rata kehilangan hari produktif 31,12 hari.
Berdasakan data distribusi variabel sosiodemografik, memperlihatkan bahwa wanita merupakan golongan yang lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan jiwa. "Gangguan kesehatan jiwa lebih banyak mendera kalangan usia muda, pendidikan rendah, orang dewasa tapi tidak menikah, serta orang dengan status ekonomi dan tingkat pendapatan keluarga yang rendah," papar Rusid di Yogyakarta.
Rusdi melanjutkan, untuk mengupayakan kesehatan jiwa di Indonesia, dibutuhkan adanya kebijakan pembangunan kesehatan yang relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Ironisnya, pelayanan kesehatan jiwa ini belum maksimal dilakukan. Berdasarkan temuannya, sebanyak 91,08 persen responden tidak mendapat pelayanan kesehatan jiwa dari fasilitas pelayanan kesehatan formal.
“Maka dari itu kebijakan kesehatan seyogyanya memperhatikan keterjangkauan pelayanan kesehatan jiwa. Sebisa mungkin dapat dijangkau oleh masyarakat luas,” jelasnya.
Rusdi menambahkan dalam penyusunan kebijakan nasional perlu memberikan prioritas yang tinggi untuk mengupayakan kesehatan jiwa sebagai subsistem kesehatan nasional. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.