Stop Jadikan Autisme Bahan Celaan!

By , Senin, 2 April 2012 | 13:06 WIB

Setiap tanggal 2 April tiap tahunnya, masyarakat dunia merayakan Hari Peduli Autis Sedunia. Perayaan ini dimulai ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendeklarasikannya pada 18 Desember 2007. Deklarasi digalang oleh Yang Mulia Sheikha Mozah Bint Nasser Al-Missned, istri dari Emir Qatar, Sheikh Hamad Bin Khalifa Al-Thani.

Peringatan Hari Peduli Autis Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai autisme. Serta meningkatkan informasi mengenai pentingnya diagnosa awal tiap kali terlihat ada gejala autisme.

Selain itu, peringatan Hari Peduli Autis Sedunia juga bisa menjadi cambuk bagi mereka yang kerap menjadikan autis sebagai bahan celaan di kehidupan sehari-hari. "Masalah ini (autis) bukan untuk diejek. Tidak lucu jika kita mengatakan pada orang yang tidak bisa mendengar atau orang yang tidak memiliki kaki dengan perkataan 'situ buntung ya!'. Untuk menggunakan autisme sebagai bahan candaan itu tidak manusiawi," ujar Diah Puspita, Sekertaris dan salah satu pendiri Yayasan Autisma Indonesia, Senin (2/4).

Menurut Diah, Hari Peduli Autis Sedunia membuat masyarakat harus lebih peduli, bukannya untuk mengejek. Yayasan Autisma Indonesia juga mencoba menggalang kepedulian ini dengan merayakan hari tersebut setiap tahunnya. Dalam lima tahun terakhir, yayasan yang kini beranggotakan 1.500 - 2.000 orang itu melakukan jalan santai bersama dari Monas ke arah Kuningan. Namun, khusus tahun ini, perayaan Hari Peduli Autis Sedunia diundur oleh yayasan tersebut ke tanggal 5 Mei 2012. Alasannya, karena tanggal 2 April jatuh di hari Senin.

"Kami menghimbau agar semua unsur yang terlibat untuk lebih peduli, kami ingin hari ini dijadikan fokus," kata Diah mengenai tujuan perayaan itu.

Sayangnya hingga saat ini belum ada data pasti berapa jumlah penyandang autis di Indonesia. Belum pernah ada angka resmi dan survei untuk menentukannya. Namun, menurut Chief Executive Selandia Baru Alison Molloy, setiap satu dari 100 orang merupakan penyandang autis. Kesadaran di Selandia Baru juga makin bertambah, seiring dengan meningkatnya kasus autisme di negaranya.

Terapi berkuda

Menurut Ketua Gadjah mada Equestrian Center (GMEC) Edi Suryanto, berkuda menjadi salah satu terapi efektif untuk penyandang autis. Sayangnya, terapi dengan berkuda ini belum banyak dikembangkan di Indonesia. Terapi ini jadi salah satu program yang ditawarkan oleh GMEC dan sudah memiliki enam orang murid.

Menurut Edi, anak-anak penderita autis diajak untuk berinteraksi dengan kuda dengan cara memberi makan, menyisir rambut dan ekor, memandikan, memasang pelana. serta menungganginya. Kegiatan ini dianggap mampu membantu konsentrasi pada penderita serta membantu sosialisasi penderita autis dengan dengan anak-anak lain. Tak hanya itu terapi kuda juga mengurangi agresivitas penderita autis.

Namun, menurut Psikolog Perkembangan Anak dari UGM, Endang Ekowarni, menyebutkan terapi berkuda tergantung pada kondisi pasien dan terapis. Terapis autis juga harus menguasai karakter kuda tidak hanya untuk sekedar dikendarai. “Semua sangat tergantung pada kondisi penderita serta kemampuan pelatih dalam melakukan terapi,” jelasnya.