Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Yogyakarta

By , Rabu, 11 April 2012 | 13:34 WIB

Isu-isu mengenai cagar budaya masih dipandang bukan isu yang seksi. Akibatnya, Bangunan Cagar Budaya (BCB) rawan akan perusakan dari pihak lain. Hal ini ditegaskan oleh Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya Madya, Jhohannes Marbun, ketika menanggapi soal perusakan gedung sekolah SMA 17.1 Yogyakarta yang merupakan salah satu BCB di Yogyakarta.

Ia menegaskan bahwa sampai saat ini perlindungan terhadap cagar budaya belum menjadi prioritas khusus bagi pemerintah. Di Yogyakarta misalnya, kasus perusakan BCB SMA 17.1 oleh preman tak dikenal menjadi bukti bahwa kurang seriusnya pemerintah untuk mengamankan BCB. "Yogyakarta itu adalah kota budaya. Seharusnya ada upaya untuk terus melestarikan nilai-nilai budaya. Bangunan hanya simbol, namun nilai dibaliknya yang perlu kita perhatikan," ujar Jhohannes saat meninjau SMA 17.1, Rabu (11/4). Ia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya paham tentang penyelamatan dan pelestarian BCB. Ketika sebuah bangunan sudah dinyatakan masuk dalam BCB, maka pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan, melestarikan, serta memanfaatkan dengan baik. Kaitannya dengan perusakan BCB di SMA 17.1, ia mengutarakan, bahwa semua pihak perlu mengingat SK Gubernur 210/KEP/2010 tentang Bangunan Cagar Budaya. SMA 17.1 tergolong BCB yang dimanfaatkan untuk pendidikan yang harus betul-betul dimanfaatkan dengan baik. Semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, atau masyarakat perlu menjaga, merawat, dan melakukan pengawasan dengan baik.

"Kesadaran untuk merawat dan mempertahankan nilai-nilai BCB harus ditingkatkan. Aksi perusakan ini bisa diredam apalabila semua paham tentang arti penting BCB tersebut," katanya.

Berdasarkan data dari Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, SMA 17.1 adalah gedung milik Yayasan Boedi Oetomo. Sejak Juli 1977 gedung ini digunakan sebagai asrama pelajar atau internat. Saat masa pendudukan Jepang, bangunan itu digunakan untuk markas Jepang. Bangunan yang bercorak Indische dengan konstruksi dinding dari batu bata ini juga pernah digunakan sebagai asrama Tentara Pelajar Resimen 22 TNI Brigade 10. Sementara itu, terkait dengan aktivitas belajar mengajar, siswa dan guru tetap melakukan proses belajar. Meski suasana masih tegang dengan penjagaan aparat keamanan, tidak berpengaruh pada psikologi siswa. Wakil Kepala Sekolah SMA 17.1, Nuniek Tasnim Hariyani mengatakan bahwa siswa tidak mau dipindahkan ke tempat lain karena sudah nyaman. Dengan tidak berpindah, justru siswa dapat berkonsentrasi belajar. "Meski pemerintah menyuruh kami pindah, namun kami akan tetap disini. Ini bangunan cagar budaya yang memang sudah diamanahkan untuk proses pendidikan," kata Nuniek. Pada hari ini pula, beberapa pihak turut membantu menyumbangkan kursi untuk mendukung proses belajar mengajar.