Pesisir Aceh kembali bergejolak akibat gempa berkekuatan 8,5 Skala Richter dan gempa susulan yang mencapai 8,8 Skala Richter, Rabu (11/4). Pusat gempa terjadi di Simeuleu pukul 15.38. Sedangkan gempa susulan dengan skala lebih besar terjadi beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 17.43 di kedalaman 24 km.
Meski sempat menimbulkan kepanikan masyarakat di sepanjang pesisir barat Sumatra, gempa ini memiliki mekanisme berbeda dengan gempa dan tsunami di Desember 2004 lalu yang meluluhlantakkan Aceh dan utara Sumatera. Berbeda dengan saat itu, terjangan tsunami hingga 10 meter terjadi sekitar satu jam setelah gempa 9,1 Skala Richter; saat gempa kali ini, peringatan dini tsunami telah dicabut oleh pihak-pihak termasuk BMKG di malam hari pukul 19.45 WIB, walaupun masyarakat tetap diimbau waspada.
BMKG Lampung contohnya, mengeluarkan peringatan soal ancaman tsunami. "Status 'Awas' tsunami di daerah pesisir Lampung Barat. Gempa besar itu sangat berpotensi tsunami," ujar Muhammad Nurhuda, Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Lampung.
Meski demikian, peringatan dini terhadap bahaya tsunami tidak bisa mengandalkan pihak berwenang dan warga tetap harus mengandalkan kepekaan masing-masing untuk naik ke dataran tinggi. Warga Calang, Kabupaten Aceh Jaya, Novita Apriliana, menyebutkan, informasi soal terjadinya tsunami tidak sampai ke masyarakat. Tak terdengar suara sirene atau pengumuman yang memandu warga bergerak menuju jalur evakuasi.
"Kami langsung lari meninggalkan Calang ke arah Gunung Keutapang di dekat Kodim Aceh Jaya dan bertahan di sana selama satu jam. Begitu turun, ternyata ada gempa lagi sehingga kami lari ke Gunung Carak. Rencananya kami bermalam di sini," ujar Novita dilansir dari Kompas, Kamis (12/4).
Walikota Sibolga Sarpi Hutauruk juga mengeluhkan sistem peringatan dini tsunami yang tidak berfungsi optimal. Dari tujuh alat peringatan dini, empat di antaranya rusak. Menurut Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, pihaknya memiliki keterbatasan dalam menjangkau masyarakat di daerah bencana.
"Kami selalu melakukan sosialiasasi ke masyarakat agar setiap terjadi gempa keras untuk langsung menuju ke tempat tinggi. Karena belum semua tempat dijangkau oleh sirene tsunami. Selain itu, tsunami yang datang seringkali lebih cepat dari peringatan dini yang ada," kata Sutopo ketika dihubungi National Geographic Indonesia, Kamis (12/4).
Pakar kelautan dan tsunami Gegar Prasetya mengutarakan, pada peristiwa gempa kemarin pergeseran antarlempeng vertikalnya kecil sehingga meski kekuatan gempa lebih dari 8 Skala Richter, tidak menyebabkan tsunami terjadi.
Secara posisi, Indonesia dikepung oleh tiga lempeng benua: Lempeng Hindia atau Indo-Australia di sebelah selatan, Lempeng Eurasia di utara, serta Lempeng Pasifik di timur. Selain ketiga lempeng itu, Indonesia juga merupakan jalur sabuk api Pasifik (dikenal pula dengan istilah Cincin Api), sebagai jalur rangkaian gunung berapi aktif yang membentang antara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan sejumlah lempeng lainnya dan kerap disebut-sebut zona kegempaan dahsyat.
Ketika gempa berskala besar, ternyata belum pasti akan terjadi tsunami. "Kejadian gempa kemarin akan berdampak lain bila gempa terdapat di zona subduksi. Kalau berada di zona subduksi, akan terjadi pergeseran vertikal karena di zona tersebut terdapat daerah tunjaman, sehingga energinya mengarah vertikal, dan bisa menimbulkan gelombang tsunami," jelasnya. Gempa serupa (di luar zona subduksi) pernah terjadi di Aceh pada tahun 2010. Kali itu intensitas gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter.
Bagian zona subduksi, dari palung sampai dengan kedalaman sekitar 40 kilometer, umumnya bersifat regas atau elastik, dan batasannya terekat dengan erat. Karena itu dorongan terus-menerus dari Lempeng Hindia mampu mengakibatkan akumulasi energi.
"Semua zona subduksi harus dianggap berbahaya sampai terbukti sebaliknya. Kita harus menganggap bahwa setiap zona subduksi panjang mampu menghasilkan gempa bumi serta tsunami besar," Kerry Sieh, ahli paleoseismologi dan Direktur Observatorium Bumi di Nanyang Technological University (NTU) Singapura sempat mengatakan dalam petikan wawancara kepada National Geographic, Februari lalu.