Gempa bumi dengan kekuatan 8,5 Skala Richter terjadi pada 11 April 2012 pukul 15:38:33 WIB, kedalaman 10 kilometer. Pusat gempa 431 km dari Banda Aceh. BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami. Pukul 17:43:11 WIB terjadi kembali gempa susulan berskala 8,1 SR.
Ini hanya sebagian kecil dari gempa besar yang melanda Indonesia. Berdasarkan peta ancaman bencana BNPB, sejak 1629 sampai 2012 Indonesia sudah mengalami tak kurang 1.712 peristiwa tsunami di 188 titik lokasi kabupaten/kota yang berisiko tinggi, serta 35 kabupaten/kota risiko sedang.
Wilayah berikutnya yang berpotensi mengalami gempa 8,9 Skala Richter dan tsunami besar diperkirakan di wilayah di Sumatra Barat. Gempa dengan sebutan megathrust ini bisa mengancam sekitar 1,3 juta jiwa yang tinggal di sepanjang pantai barat Sumatra.
"Kalau (gempa) itu terjadi, tsunami bisa mencapai enam hingga sepuluh meter dan sampai jarak dua-lima kilometer dari garis pantai," terang Sutopo Purwo, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Kamis (19/4).
Ia menegaskan, jika megathrust ini benar terjadi, perkiraan waktu untuk evakuasi dengan kondisi infrastruktur saat ini bisa memerlukan lebih dari 40 menit. "Itu pun kalau situasi jalan masih normal, tidak terhambat kepadatan," imbuhnya. Padahal, gelombang tsunami akan datang hanya dalam waktu 20-35 menit.
"Maka kita butuh upaya bagaimana kondisi rentan seperti ini tidak memakan korban," tutur Sutopo. BNPB segera menyusun masterplan penanggulangan gempa dan tsunami ini. Salah satunya adalah pembangunan shelter vertikal yang dirancang pada tahun 2013-2014.
Baik bangunan yang sudah lama maupun baru ada, bisa dimanfaatkan sebagai shelter vertikal yang lebih tinggi dari potensi tinggi tsunami. Menurut Sutopo, penambahan shelter-shelter vertikal akan terus ditingkatkan.
Untuk kota Padang saja dibutuhkan 300-500 shelter tergantung kapasitas volume, sementara sekarang baru berdiri sekitar tujuh shelter. Shelter ini untuk menjadi tempat tujuan menyelamatkan diri saat tsunami melanda. "Kami mendorong masyarakat untuk membuat shelter mandiri swadaya di pemukiman, dalam bentuk panggung atau masjid dengan desain khusus, contohnya Masjid Muhajirin di Pasir Putih Padang," kata Sutopo.
Di samping itu masterplan meliputi pula rencana pelebaran dan penguatan jalan untuk evakuasi, peningkatan sistem peringatan dini (lewat sirene, CCTV), atau pengembangan buoy—alat yang mengambang di tengah laut untuk mendeteksi perubahan mendadak tekanan air dan digunakan sebagai sistem peringatan tsunami.
Dari 25 buoy tsunami di Indonesia saat ini, hanya tiga buoy yaitu di Enggano, Selatan Jawa, dan Bali yang berfungsi. Buoy lainnya sebagian besar rusak akibat biaya pengembangan dan pemeliharaan terbatas.
Kendala Manajemen Kebencanaan
Sutopo mengatakan, yang menjadi tantangan utama bagi pihaknya di dalam menanggulangi bencana adalah masalah kesadaran masyarakat. "Masyarakat umumnya sudah punya pengetahuan tentang apa itu tsunami. Namun, seringkali sulit pengetahuan yang ada tersebut belum masuk ke taraf kognitif, yaitu kesadaran. Saat timbul bencana, mereka jadi panik. Itulah yang penting kita latih," ungkapnya.
Iptek sampai saat ini juga belum bisa memprediksi kapan secara persis gempa tsunami terjadi. Namun, ditegaskan Sutopo, bukan berarti selama ini pemerintah tidak melakukan apa-apa.
"Sebetulnya sudah ada upaya yang dilakukan pemerintah, misalnya pemerintah di Aceh pasca gempa 2004 membangun crisis center, memasang sirene, menyiapkan skenario peta resiko dan pertolongan, dan memberikan pendidikan kebencanaan pada kurikulum muatan lokal," Sutopo menambahkan.