Empat Penapak Tiang Langit dari Indonesia

By , Jumat, 20 April 2012 | 12:31 WIB
()

Tahun lalu, tepatnya tanggal tujuh Juli 2011, Sofyan Arief Fesa (29), Xaverius Frans (25), Broery Andrew Sihombing (23), dan Janatan Ginting (23) dari organisasi Pecinta Alam Mahitala Universitas Parahyangan, berhasil menempatkan bangsa Indonesia dalam urutan ke-53 di dunia yang memiliki pendaki The Seven Summiteers.

Inilah gelar yang diperoleh seseorang saat berhasil menuntaskan rangkaian pendakian tujuh gunung pengais angkasa yang ada di setiap lempeng benua pembentuk bumi. Jejak langkah keempat mahasiswa ini pertama kali dimulai di ranah Papua nan eksotis pada 2009, yaitu di puncak Carstensz Pyramid (4.884 mdpl). Sebuah puncak gunung di tanah air yang sulit didaki karena membutuhkan keterampilan teknis pemanjatan yang tinggi di tengah dera keganasan alam.

Di tahun 2010, dengan risiko yang tidak ringan seperti mengalami mountain sickness yang dapat berujung pada kematian, mereka berhasil menyambangi atap Afrika yaitu Gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl). Serta menyapa Gunung Elbrus (5.642 mdpl) yang berada di negeri beruang merah, Rusia.

Di tahun ini pula mereka mencatatkan diri sebagai orang Indonesia pertama yang berhasil menjejakkan kaki di es abadi Kutub Selatan. Diiringi sergapan suhu yang amat ekstrem hingga mencapai minus 45 derajat Celcius di Gunung Vinson Massif (4.889 mdpl), Antartika.

Perjuangan mereka belumlah berakhir. Pada awal 2011, mereka harus berhadapan dengan badai salju El Viento Blanco nan garang. Salju dapat dengan mudah menghempaskan tubuh mereka dari punggungan tipis Gunung Aconcagua berlembah curam di Argentina (6.962 mdpl) yang telah melahap banyak nyawa.

Di tahun ini pula, raung longsoran salju yang berjarak hanya beberapa puluh meter di depan mata, nyaris menghapuskan nama mereka dari muka bumi di Nepal. Tak kenal kata menyerah, para pemuda ini pun berhasil meraih atap dunia yaitu Everest (8.848 mdpl) tepat pada hari Kebangkitan Nasional. Pada warsa yang sama pula mereka berhasil menutup rangkaian pendakian pada puncak terakhir di atas salju Gunung Denali (6.194 mdpl) di Kutub Utara, Alaska, AS.

Tim Mahitala Unpar di Puncak Denali.

Pengalaman berharga mereka dalam menguak alam nan misterius di Papua telah mereka kemas dalam buku pertama, yaitu "Sudirman Range Trails: Lanskap Misterius di Indonesia Timur." Buku beraroma kilasan pengamatan ilmiah bentang alam serta flora fauna ini dipublikasikan pada 2010.

Buku selanjutnya, "Pucuk Es di Ujung Dunia: Pendakian 7 Puncak Benua," disarati oleh kisah perjuangan yang nyaris dibayar dengan nyawa saat menggapai titik tertinggi Aconcagua, serta keunikan yang dijumpai saat memanggul ransel di Vinson Massif dengan peraturan ketat yang harus diikuti setiap penjejak hamparan esnya.

Tanggal 19 April 2012 lalu, buku "Menapak Tiang Langit: Pendakian 7 Puncak Benua" kumpulan kisah pendakian yang menggenapi sisa gunung lainnya diluncurkan di Blitzmegaplex, Grand Indonesia, Jakarta. Rektor Unpar, Robertus Wahyudi Triweko berharap buku ini dapat menginspirasi pemuda lainnya dalam menggapai mimpi mereka.

Buku terbaru ini membahas pula suatu hal yang tak kalah penting dalam ekspedisi yang memakan biaya Rp8 miliar. Apakah buku ini sekaligus menuntaskan kepuasan keempat petualang muda ini dalam menjelajah alam?

“Masih ada gunung-gunung lainnya di luar sana untuk didaki,” ujar Sofyan Arief Fesa dengan senyum misterius, diiringi anggukan setuju dari ketiga orang rekannya.