Orangutan, satu dari 25 primata utama paling terancam punah di dunia, kembali mendapat tantangan. Namun, sama seperti tantangan sebelumnya, orangutan Sumatra (Pongo abelii) terdesak habitatnya karena kegiatan perkebunan kelapa sawit.
Salah satu habitat orangutan yang paling terancam adalah Rawa Tripa di pesisir barat Aceh. Lokasi ini adalah satu tiga hutan rawa gambut kaya karbon di pantai barat Aceh. Selain Tripa, terdapat pula Kluet dan Singkil. Letaknya pun tak jauh dari Taman Nasional Gunung Leuser.
Rawa gambut Tripa memiliki luas sekitar 62.000 hektare. Tapi 75 persen di antaranya dikonversi oleh tujuh perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang beroperasi dengan luas lahan antara 3.000-13.000 hektare. Lahan seluas itu dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan pembakaran hutan sebagai cara membuka lahan.
Dari data yang dilampirkan oleh Tim Koalisi Penyelamat Rawa Tripa (TKPRT) dan Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia, pembukaan lahan terbesar terjadi pada Maret 2012. Hingga pekan terakhir, terjadi 90 kebakaran yang membuat Rawa Tripa kehilangan 800 hektare lahan. Diperkirakan oleh Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP), terdapat 100 orangutan yang mati dalam kebakaran itu.
"Dengan kecepatan pembukaan lahan hutan gambut seperti ini, orangutan tidak akan ada lagi di Rawa Tripa pada Desember 2012," kata Ian Singleton, Direktur Konservasi SOCP dalam acara diskusi Rawa Tripa di UI, Depok, Selasa (24/4).
Ditambahkan Singleton, jumlah orangutan di Sumatra saat ini hanya tinggal 6.600 individu. Sedangkan di Rawa Tripa, hanya tersisa 200 individu orangutan. "Jumlah ini sendiri menjadikan Rawa Tripa sebagai wilayah dengan kerapatan tertinggi populasi orangutan," ujar Singleton.
Menurut Riswan dari Yayasan Ekosistem Lestari, perusakan Rawa Tripa baru terjadi secara masif di tahun 2000-an. Awalnya di tahun 1990-an, lokasi ini merupakan rawa gambut subur dengan luas 63.835 hektare dan masuk sebagai habitat utama harimau (Panthera tigris sumatrae) serta orangutan Sumatra. Ketika izin penggunaan lahan diberikan di tahun 1995, lahan hijau mulai berkurang sedikit demi sedikit.
Vegetasi Rawa Tripa mulai tumbuh lagi saat konflik bersenjata di tahun 2001-2005. Tanpa adanya tangan manusia, vegetasi ini tumbuh subur dan hampir mencapai kondisi semula. Namun, perdamaian di Tanah Rencong dimanfaatkan perusahaan swasta untuk kembali membuka lahan di Rawa Tripa. Diperkirakan hingga April 2012 hanya tersisa 11.000 hektare dari 62.000 hektare luas keseluruhan lokasi ini.
Riswan dan Singleton yang tergabung dalam TKPRT meminta agar ada tindakan hukum atas tindakan ini. Hal terpenting lainnya adalah penghentian pemberian izin Hak Guna Usaha baru. "Kami mendesak ada pengawalan terhadap revisi moratorium yang akan datang," kata Riswan.