Persoalan Buruh Indonesia Setelah Era Reformasi

By , Selasa, 24 April 2012 | 23:49 WIB
()

Peringatan 1 Mei (Hari Buruh) tahun ini menggenapkan 14 tahun perjalanan reformasi bangsa. Pasca reformasi, buruh masih terus dihadapkan pada persoalan krusial, baik dalam konteks eksternal relasi buruh dengan pemerintah dan pengusaha. Maupun probelm internal seputar mutu SDM hingga konflik kepentingan antar pengurus serikat buruh/pekerja. Ini cenderung membawa buruh ke posisi tawar yang lemah.

"Banyak kalangan berkesimpulan bahwa gerakan buruh pasca reformasi telah memiliki ruang kebebasan memadai bagi perjuangannya. Namun, tidaklah demikian. Gerakan buruh di Indonesia butuh direposisi ke agar menjadi kekuatan yang dapat diperhitungkan," ujar Lukman Hakim, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam seminar Peluang dan Tantangan Gerakan Buruh Indonesia Pascareformasi, di Jakarta, Selasa (24/4).

Rekson Silaban dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI) menyampaikan, pencapaian gerakan buruh sekarang ini tidak sebesar kebebasannya. Kaum buruh di Indonesia memang kini memiliki kebebasan berserikat dengan kondisi yang jauh lebih baik, tetapi konflik relasi industrial-perburuhan juga didapati meningkat.

Masalah upah dan kesejahteraan buruh tidak lain menjadi pemicu utama konflik. Berdasarkan data PHI dan Jamsos, jumlah kasus perselisihan antara buruh dan industrial bertambah dari tahun 2010 dengan 3.993 kasus ke 4.242 kasus di tahun 2011.

Sejumlah peneliti LIPI sejak 2010 lalu melakukan kajian terhadap UU Ketenagakerjaan No. 13/2003. Undang-undang ini dinilai mengandung kelemahan dari sisi substansi yang inkonsisten serta dalam implementasi pada penegakan hukumnya. Revisi UU diperlukan, kata Titik Handayani, Peneliti Kependudukan LIPI, salah satu yang melakukan penelitiannya.

Aksi Hari Buruh 2011 (Fransiskus Simbolon/Fotokita.net)
"Cepat atau lambat harus diperbaiki atau akan menjadi bom waktu yang memperparah konflik perburuhan. Apalagi UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) perlu sinergi dengan UU Ketenagakerjaan," katanya, "Lagipula kalau sekarang, setiap kali ada tuntutan, ada janji-janji dari pemerintah, tapi kurang ada follow-up."

Menurut Ketua Tim Peneliti Laila Nagib, penelitian mereka pun mengkaji dan menemukan beberapa aspek-aspek yang dinilai sebagai isu besar saat ini. Antara lain isu sistem tenaga kerja outsourcing, standar upah mininum, pengawasan perburuhan, dan Kawasan Ekonomi Khusus.

Di samping itu, ledakan penduduk yang kian tinggi juga harus diantisipasi pengaruh dan dampaknya bagi ketenagakerjaan. Titik Handayani menyebut, di tahun 2025 diproyeksi sudah akan ada hampir 70 juta penduduk usia produktif yang bersaing mendapatkan kesempatan kerja.

Sementara Simon Field, Kepala Penasihat Teknis Proyek dari ILO-Better Work Indonesia mengatakan, ada beberapa tantangan di tingkat yang global. Di antaranya tren penekanan biaya produksi yang berimpak pada banyaknya kondisi pekerja tidak layak dan mengakibatkan ketidaksetaraan ekonomi-sosial.

"Muncul urgensi untuk perlindungan sosial global. Para pekerja harus didukung. Bentuk-bentuk tradisional dan baru atas diskriminasi membuat tingginya angka pekerja yang rentan diekplotasi, seperti anak-anak, perempuan, pekerja sektor informal, pekerja kontrak," tegasnya. Simon menambahkan, wujud nyata eksploitasi ini yaitu upah nan rendah dan kondisi kerja di semua sektor.