Lenggok Jakarta, Jangan Dipandang Sebelah Mata

By , Jumat, 27 April 2012 | 15:05 WIB
()

Jakarta memang tak memiliki gunung dan lembah yang bisa ‘dijual’ untuk menarik pelancong. Tapi, tahukah Anda, bahwa, pariwisata menyumbang 14 persen PAD (Pendapatan Asli Daerah) sebesar Rp2 triliun, nomor dua terbesar setelah pajak kendaraan bermotor bagi Provinsi DKI Jakarta.

Hal ini terungkap pada sambutan pembukaan Forum Friends of Jakarta Tourism : Kontribusi Stakeholder Pariwisata dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif, Kamis (26/4) 2012 di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Wisata Jakarta bukan hanya dari sektor MICE (Meetings, incentives, conferencing, exhibitions) dengan hotel bintang lima dan gedung serbaguna bertaraf internasional. Tapi juga dari tujuan wisata bagi pelancong rekreasi.

“Sadarkah kita, bahwa Jakarta memiliki lebih dari 60 museum? Banyak orang mengira sulit atau tak bisa melakukan ekowisata di Jakarta. Padahal, selain wisata bahari Kepulauan Seribu, mari kenali sejumlah tempat ‘hijau’ di Jakarta. Program penanaman mangrove dan Kali Bersih bisa mendukung ekowisata,” ujar Tinia Budiati, Wakil Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta.

Ditambahkan Tinia, jika pihaknya terus memberdayakan Kota Tua. Bahkan sedang dirintis ‘perguruan tinggi’ Kota Tua bekerja sama dengan IKJ (Institut Kesenian Jakarta). "Programnya sedang kami godok,” lanjut Tinia.

Martinus Setyo (Fotokita.net)

Selama ini, Kota Tua telah menjadi semacam kampus terbuka untuk seni dan budaya. Sejumlah komunitas, seperti komunitas sketsa memanfaatkan semarak Kota Tua sepanjang hari sebagai lokasi ideal untuk mewujudkan ekspresi seni.

Syamsul Lussa, Direktur Pengembangan Industri Perfilman, memaparkan, Kebijakan Nasional Pengembangan Ekonomi Kreatif lewat empat potensi ekonomi kreatif berbasis seni budaya. Yaitu perfilman, seni pertunjukan, musik dan seni rupa. Dalam kasus perfilman, UU No.3/2009 sudah mendaftar fungsi perfilman sebagai pendorong karya kreatif dan ekonomi. Selain fungsi “klasik” budaya, informasi, hiburan dan pendidikan.

“Puncak industri perfilman kita berpuncak di FFI (Festival Film Indonesia) yang digelar tiap tahun. Kita juga mendukung festival film di daerah yang digerakkan komunitas pencinta film dengan mengirim sejumlah pakar,” ujar Syamsul.

Promosi Pariwisata melalui Media Film sangat bisa diterapkan diungkap oleh sineas Sakti Parantean. Mengambil contoh Utah, provinsi ke-13 terbesar di Amerika Serikat. Penduduknya hanya tiga juta jiwa, tapi lewat Sundance Film Festival sejak 1978, tak kurang dari 45.000 pencinta film datang tiap tahun. Sembilan persen di antaranya merupakan pelancong mancanegara.

Dengan modal US$7,5 juta, festival ini mampu menyerap 1.500 tenaga kerja, menyumbang PAD US$5,5 juta. Itu semua di luar belanja pelancong yang diserap oleh hotel, transportasi, kuliner, cendera mata yang mencapai US$54,5 juta.

Bagaimana dengan Jakarta? Sejak 1999, Jakarta sebenarnya memiliki JIFFEST (Jakarta International Film Festival) yang dirintis sineas, dimotori Shanty Harmayn. Kendala klasik tiap tahun adalah dana hingga pada 2011 penyelenggaraannya terpaksa diurungkan.

Menurut Sakti, kalau saja bekerja sama dan didukung penuh pemerintah, dan dikelola dengan pendekatan niaga, festival ini sangat menjanjikan. Waktu penyelenggaraan yang relatif tetap – sekitar awal November – sudah melekat di kalangan pencinta film hingga menjadi ajang tahunan yang ditunggu. Pendapatan bisa diraup lewat antara lain penjualan cendera mata, yang selama ini sebenarnya sudah dilakukan.

Tempat pemutaran film tak harus melulu di gedung bioskop, tapi juga bisa di tempat yang terbuka bagi publik seperti museum. “Kami pernah mengadakan pemutaran film di mal,” tanggap Asep Kambali dari komunitas Historia.

Sejumlah tempat di Jakarta seperti Kota Tua, kerap dijadikan lokasi pengambilan gambar film. Sebaliknya, Kota Tua pun bisa dijadikan tujuan tur wisata ke lokasi pengambilan gambar film.

Potensi wisata Jakarta memang luar biasa. Semua ada.