Prediksi letusan gunung api merupakan faktor penting yang harus diketahui masyarakat sekitar untuk keselamatan jiwa. Perkiraan ini pun bisa bersifat prediksi panjang (tahunan) atau pendek (hitungan hari).
Indonesia, sebagai negara pemilik 127 gunung api aktif, menjadi "laboratorium" penting bagi penerapan prediksi letusan ini. Menggandeng Jepang, negara dengan banyak kesamaan di bidang geologi, lahirlah "Metode Prediksi Erupsi dan Evaluasi Bahaya Gunung Api Indonesia".
Metode ini coba diterapkan di empat gunung api besar di tanah air; Semeru, Guntur, Kelud, dan Sinabung. Semeru terpilih karena erupsi eksplosif terjadi setiap sepuluh menit sekali; Guntur dengan kegiatan seismik yang tinggi; Kelud memiliki kubah yang baru terbentuk; dan Sinabung yang meletus dari Agustus-September 2010 setelah 400 tahun "tertidur."
"Kami sudah memiliki long-term prediction untuk Kelud, yang ledakannya lebih besar dari Merapi (Yogyakarta). Kelud ini juga berubah karakter, bukan lagi eksplosif, tadi evulsif," kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), di kantor COREMAP LIPI, Jakarta, Selasa (1/5).
Metode ini sendiri jadi satu dari artikel ilmiah hasil kerjasama Indonesia-Jepang. Program ini telah berjalan selama tiga tahun dan berakhir pada 30 April 2012. Dengan dukungan dari LIPI, Kemristek, Japan Science and Technology (JST), dan Japan International Cooperation Agency (JICA), penelitian gabungan ini melahirkan 13 artikel dan 56 presentasi oral dan poster.
Riset bersama ini juga melibatkan 143 peneliti Jepang dan 105 peneliti Indonesia yang terbagi dalam enam sub-grup. Keenamnya yakni grup untuk penelitian gempa bumi, gunung api, tsunami, penerapan sosial penanganan bencana, pendidikan bencana, dan koordinasi dengan Pemerintah.
Menurut Direktur Proyek LIPI-JICA sekaligus Peneliti Kegempaan LIPI, Hery Harjono, Indonesia dan Jepang sama-sama berada di atas tabrakan lempeng. "Oleh karena itu, kedua negara ini mengalami banyak gempa bumi maupun letusan gunung berapi," kata Hery menjelaskan latar belakang kerjasama tersebut.
Ditambahkan oleh Tomori Tada sebagai Deputi JICA Jakarta, kolaborasi ini juga melahirkan simposium dan workshop untuk penanganan bencana di Indonesia dan Jepang. "Semoga riset ini bisa terus berkembang dan memberi manfaat bagi kedua negara," ujar Tada.