Bila saat ini anak-anak di kota besar gencar mencari gadget terbaru seperti playstation dan game internet, masyarakat di Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, justru gencar mengembangkan permainan tradisional anak. Bahkan mereka pun menyebut dirinya sebagai kampung dolanan (mainan) anak.
Ketika kita mendatangi kampung dolanan anak, permainan tradisional seperti wayang dan payung kertas, kelontongan, othok-othok, masih bisa kita temui. Uniknya, permainan tradisional di Dusun Pandes ini dibuat hanya oleh ibu-ibu desa berumur lebih dari 80 tahun yang jumlahnya sekitar tujuh orang.
Mbah Karto Utomo (100 tahun), salah satunya. Meski terlihat renta dan sudah mengalami gangguan pendengaran, wanita ini masih semangat membuat dolanan anak. “Kalau saya belum meninggal, saya tetap akan membuat permainan anak tradisional ini,” ujar Mbah Karto, di rumahnya, Kamis (3/5).
Mbah Karto mengaku menekuni dunia ini sejak umur sepuluh tahun. Tak henti-hentinya ia mencari bentuk permainan tradisional anak yang menarik. Bahkan, 90 karakter wayang dari kardus bekas pun bisa ia gambar dengan cepat tanpa membuat pola terlebih dahulu. Ia juga bercerita, sewaktu muda, ia sering menjual hasil karyanya tersebut ke luar daerah Yogyakarta.
Sayangnya, permainan anak tradisional sudah mulai tergerus dengan maraknya permainan modern. Hal ini dikemukakan oleh Koordinator Komunitas Pojok Budaya, Wahyudi Anggoro Hadi, yang menggagas program pelestarian permainan anak tradisional Kampung Dolanan.
Diceritakan oleh Wahyudi, terbentuknya Kampung Dolanan ini berasal dari Nyai Sompok yang merupakan keturunan Majapahit. Kedatangan Nyai Sompok di dusun Pandes lantas menyebarkan ketrampilan membuat permainan anak.
Hingga tahun 1980-an, hampir ratusan penduduk menekuni profesi ini. Terbukti, hasil kerajinan banyak dijual ke luar daerah Yogyakarta seperti Kebumen, Semarang, Klaten. Namun, pada tahun 1980-an,Kampung Dolanan menjadi sepi karena banjirnya permainan modern.
Munculah Komunitas Pojok Budaya dii tahun 2008. Komunitas ini pula yang mendirikan sekolah khusus pengajaran ketrampilan pembuatan permainan tradisional. Bahkan sekolah ini akhirnya menjadi tujuan wisata edukasi yang popular di Yogyakarta.
“Sepuluh tahun atau lebih, permainan anak tradisional akan punah. Kalau tidak diselamatkan, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamya tidak akan bisa dikenang," kata Wahyudi.
Di dalam permainan tradisional terdapat nilai kemandirian, peduli lingkungan, kerjasama, dan kesadaran geografis. Namun, penjualan permainan ini makin lama semakin sulit. Untuk itu, pihak Wahyudi melakukan re-design permainan anak tradisional menjadi sebuah souvenir bagi pengunjung.