Dengue Haemorrhagic Fever atau lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk Aedes aegypti. Jika terkena infeksi dari virus ini, seseorang bisa terancam kematian.
Dalam British Medical Buletin yang ditulis James Whitehorn dan Jeremy Farrar, dengue mengancam kesehatan sekitar 2,5 miliar orang di dunia. Patogenesis (asal, timbul dan berkembangnya penyakit) dengue pun dipengaruhi berbagai macam faktor, termasuk dari orang yang terjangkit dan virus itu sendiri. Penyakit ini ditandai dengan gejala yang beragam mulai dari dari panas demam dengan suhu tubuh naik-turun, nyeri seluruh badan, hingga gejala saluran cerna.
Penyakit DBD sangat umum ditemui di Indonesia. Lingkungan alam tropis, sanitasi buruk yang potensial sebagai sarang nyamuk, dan rendahnya kesadaran masyarakat menjadi alasan utama. Indonesia bahkan menempati posisi tertinggi dalam kasus penyakit dengue di Asia Tenggara dengan 10.000 kasus di tahun 2011.
"Salah satu alasan kenapa kasus Indonesia tertinggi di Asia Tenggara karena banyaknya penduduk kita," ujar R Tedjo Sasmono, peneliti dari Eijkman Institute dalam acara pengukuhan kerjasama dengan University of Sydney di Jakarta, Senin (14/5).
Ditambahkan Tedjo, ada empat jenis virus dengue, dan keempatnya ada di Indonesia. Dibutuhkan kerjasama dengan pihak luar, dalam hal ini Australia, untuk bisa meneliti lebih jauh mengenai patogenesisnya. Kerjasama ini diharapkan bisa meningkatkan pemahaman mengenai bagaimana virus dengue berinteraksi dengan sel tubuh manusia hingga akhirnya berkembang jadi penyakit berbahaya.
Penelitian juga diharapkan bisa menemukan pengobatan paling sesuai, tes diagnostik akurat, dan berujung pada penyelamatan hidup manusia. "Dengue di Australia tidak sebanyak di Indonesia. Hanya ada di sekitar Queensland saja. Tapi penelitian mereka soal nyamuk lebih maju dari kita. Mereka bahkan pionir kontrol nyamuk di dunia," kata Tedjo lagi.
Menurut Sangkot Marzuki sebagai Direktur Eijkman Institute, tidak ada penetapan durasi waktu berapa lama kerjasama ini akan berlangsung. Sebab, begitu penelitian menelurkan hasil, akan membuka pintu ke pertanyaan ilmiah berikutnya yang artinya memerlukan penelitian lagi. "Mereka (Australia) mempunyai kapasitas di lab yakni model sistem kapiler buatan. Sedangkan kita (Indonesia) punya contoh kasus berupa virusnya," kata Sangkot.
Hasil penelitian ini, ujar Sangkot, nantinya akan dijadikan usulan ke Departemen Kesehatan Indonesia. Saran ini diharapkan bisa jadi batu pijakan kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan dengue.