Setahun lalu, Inpres Moratorium dengan nomor 10/2011 resmi dikeluarkan untuk menyempurnakan tata kelola hutan alam primer dan alam gambut. Tujuan utamanya untuk menghadirkan sistem Satu Peta (One Map) yang bisa digunakan oleh beberapa instansi terkait sebagai dasar pengeluaran berbagai jenis izin tata kelola.
Sebelumnya, instansi tersebut - Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional - masing-masing memiliki peta dan berbagai izin pemanfaatan lahan yang independen satu sama lain. Hal ini berujung pada perizinan yang tumpang tindih, tata kelola karut-marut, dan bisa berujung pada konflik pertanahan yang serius.
"Ini semua tentu sangat merugikan bagi kelancaran pembangunan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia," ujar Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Senin (21/5).
Inpres 10/2011 ini dilampiri Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) pada hutan alam primer dan lahan gambut Indonesia yang ditetapkan oleh Kemenhut dengan mengecualikan berbagai ijin yang sudah keluar sebelum Inpres terbit. PIPIB direvisi setiap enam bulan untuk meningkatkan akurasi dari peta.
Saat ini sudah dilakukan PIPIB revisi tahap dua dengan beberapa contoh perubahan, seperti mengeluarkan desa yang terletak pada tanah mineral pada wilayah gambut di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Sedangkan di sisi lain memasukkan kembali kawasan PT Kalista Alam seluas 1.605 hektar di Rawa Tripa, Aceh.
Secara kesuluruhan, PIPIB revisi dua memiliki penambahan wilayah sebesar 379 ribu hektar. Sebagai hasilnya besaran luas wilayah yang masuk dalam PIPIB per 2 Mei 2012 adalah 65.753.810 hektare. Luas tutupan terbesar disumbang Pulau Sumatra dengan 13.482.127 hektare.
Ditambahkan Kuntoro, jika proses perizinan yang transparan merupakan fondasi penting untuk pengembangan pengeloloaan lahan dan hutan. "Dalam masa berlakunya Inpres moratorium ini, kita akan benahi sistem perijinan melalui pembentukan sistem yang terintegrasi," ujar Kuntoro.