Konversi Lahan Ancam Kehidupan Warga Lokal

By , Rabu, 23 Mei 2012 | 18:34 WIB

Pemerintah negara-negara di Asia Tenggara dianjurkan agar tidak tergiur janji pengembang yang ingin mengubah lahan pertanian menjadi usaha agroproduksi. Selain bisa menyingkirkan masyarakat pedesaan, hal ini juga menghilangkan mata pencaharian petani dari lingkungan alaminya.

Demikian disampaikan dua pakar PBB soal makanan dan masyarakat asli, Olivier De Schutter dan James Anaya, dalam rilisnya, Rabu (23/5). De Schutter menyarankan agar segala kesempatan ekonomi dari lahan pertanian jangan sampai memakan hak azasi manusia dari populasi lokal yang ada.

"Untuk memastikan hak-hak dasar komunitas ini tidak dilanggar, Pemerintah harus meningkatkan kewaspadaannya terhadap akusisi lahan berskala besar. Mereka ini adalah petani kecil, nelayan, pemburu, atau pun perajin," ujar pernyataan De Schutter dan Anaya.

Konversi lahan juga bisa mempengaruhi kebutuhan pangan orang banyak. Sebagai contoh, ancaman konversi lahan hutan dan pertanian skala kecil sekitar satu hingga dua juta hektare di Merauke bisa berdampak pada kebutuhan pangan 50.000 orang.

Bukan hanya di Indonesia, kasus ini pernah di region Isabela, Filipina, ketika sekitar 3.000 hektare tanah diubah menjadi ladang produksi gula. Luas lahan ini akan bertambah 8.000 hektare lagi dan diprediksi berdampak ke sekitar 45.000 penduduk.

"Sering kali, pembangunan berskala besar berarti perubahan seluruhnya dari penggunaan dan akses tanah," kata De Schutter. "Jika lingkungan tempat mereka bergantung didayagunakan ulang, didegradasi, maka kemampuan mereka untuk menghasilkan makanan akan sangat terancam."

Selain bisa mempengaruhi pangan, tambah De Schutter, konversi lahan juga dapat mengancam spesies-spesies unik dari Merauke. Sedangkan di Isabela, perubahan lingkungan dapat memicu terjadinya banjir dan tanah longsor.