SVLK Goes To Campus: Akhiri Perselingkuhan Kayu di Indonesia

By , Rabu, 23 Mei 2012 | 19:34 WIB

Kusnandar, Kasubdit Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Kehutanan, menyalin nomor barcode kayu dengan sabak digitalnya. Raut mukanya tampak resah karena koneksi internet siang itu melambat. Beberapa saat kemudian, dari layar peranti cerdas itu muncul informasi tentang nama pohon, pemilik lahan, petak tebangan, hingga letak geografis asal pohon tersebut. 

“Kita bisa melacak asal-usul kayu dari lahan yang sah,” ungkap Kusnandar yang berbinar lega sambil menunjukkan layar sabaknya kepada peserta diskusi yang duduk di deretan depan, “Keterlacakan, itulah inti SVLK!”

Diskusi bertajuk "SVLK Goes To Campus” tersebut diselenggarakan oleh National Geographic Indonesia dan Multistakeholder Forestry Programme di University Club, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Selasa (22/5). Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadartahuan dan sosialisasi tentang Sistem Verifikasi Legal Kayu, juga memberikan kontribusi soal pemahaman dan kepekaan publik terhadap kelestarian hutan Indonesia.

Acara ini telah diselenggarakan di tiga perguruan tinggi: Universitas Sultan Hasanuddin Makassar, Universitas Syah Kuala Banda Aceh, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam waktu mendatang acara serupa akan diselenggarakan di Institut Pertanian Bogor dan Universitas Cendrawasih Jayapura.

Berbagai faktor telah mendesak untuk disusunnya SVLK di Indonesia. “Banyaknya kayu-kayu yang tidak jelas asal-usulnya, peluang pendapatan negara yang hilang karena pembalakan liar, hancurnya sumber daya hutan, hingga berakibat pada masyarakat yang kehilangan mata pencarian,” ungkap Teguh Widodo selaku Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Lampung. 

Widodo mengungkapkan perjalanan panjang Indonesia untuk mematangkan SVLK. Awalnya, Indonesia memprakarsai konferensi yang melahirkan deklarasi soal penegakan hukum kehutanan dan pemerintahan pada 2001. Kemudian pada tahun berikutnya telah disepakati sistem legalitas kayu: “kayu yang dipungut, diangkut, diolah, dan diperdagangkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku.”

Hingga akhirnya, Kementerian Kehutanan menerbitkan peraturan soal standar penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi dan verifikasi legalitas kayu pada akhir 2009. “Peraturan tersebut dirangkum menjadi standar verifikasi yang berlaku di Indonesia, bukan Uni Eropa, atau negara lain.”

Semua pihak―masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan pelaku usaha―terlibat dalam penyusunan SVLK, sehingga prosesnya bisa dilihat oleh siapapun. “Jika SVLK dijalankan, kinerja pemerintah akan terbaca,” ungkap Widodo, “proses ini transparan, sehingga masyarakat bisa turut memantau.”

Suryanto, penggiat ARUPA (Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam) mengatakan “Perselingkuhan kayu di Indonesia ini tinggi. Namun, adanya SVLK diharapkan bisa mengurangi ekonomi biaya tinggi.” ARUPA telah berpartisipasi dalam sosialisasi SVLK dan pendampingan kepada para pemilik lahan kayu. Ia bersama para relawan juga turut mengawasi pelaksanaan SVLK terutama untuk hutan-hutan milik PERHUTANI.

Diskusi juga menampilkan lelaki berambut gondrong dan berkacamata, Agus Prijono. Dia merupakan kontributor National Geographic Indonesia yang menulis “Cakrawala Baru Kayu Nusantara” untuk buklet sisipan edisi Mei 2012. Prijono yang juga alumnus Fakultas Kehutanan UGM itu menuturkan kisah di balik layar penugasannya selama 17 hari di hutan-hutan seputar Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 

“Demi martabat hutan Indonesia,” kata Prijono sembari menutup acara, “kita memang harus memberi penyeimbang terhadap SVLK berupa perbaikan yang mendorong sistem ini untuk kemajuan hutan rakyat.”