Edmund Hillary, pendaki asal Selandia Baru dan pemandunya asal suku Sherpa di Nepal, Tenzing Norgay, berhasil menjadi manusia pertama yang mencapai Gunung Everest di ketinggian 8.848 meter pada 29 Mei 1953. Kabar ini merebak ke penjuru dunia pada 2 Juni di tahun yang sama, persis dengan waktu penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris.
Bangsa Inggris (Selandia Baru merupakan persemakmuran Inggris) merayakan keberhasilan Hillary dan Norgay, menganggapnya sebagai pertanda baik kepemimpinan ratu baru mereka. Namun, usaha ini dilakukan dengan susah payah. Malam sebelum mencapai puncak, keduanya mendirikan camp di ketinggian 8.500 meter.
Ketinggian dan suhu dingin ekstrem membuat keduanya gagal memejamkan mata malam itu. Dengan kondisi lelah, duet pendaki ini tetap berhasil mencapai Puncak Selatan Everest pada pukul 09.00 pagi. Beberapa jam kemudian, tepatnya pada 11.30 menuju tengah hari, keduanya menginjak puncak Everest. Menjadikan mereka manusia pertama penginjak lokasi yang disebut Atap Dunia.
Kabar ini kemudian disampaikan lewat pos radio di Namche Bazar untuk diteruskan ke London. Ratu Elizabeth mengetahui kabar ini malam sebelum penobatannya. Di akhir tahun, Hillary menerima gelar Kesatria dari Elizabeth yang sudah resmi menjadi Ratu. Sedangkan Norgay, karena bukan warga Inggris, menerima medali British Empire.
Keberhasilan keduanya memicu pendaki lainnya untuk melakukan hal sama. Pada tahun 1960, ekspedisi dari China berhasil menaklukkan gunung ini dari sisi Tibet. Dilanjutkan dengan James Whittaker di tahun 1963 sebagai warga Amerika Serikat pertama yang menginjakkan kaki di puncak Everest.
Keberhasilan berikutnya diukir Tabei Junko dari Jepang di tahun 1975. Junko bahkan mencetak rekor tersendiri karena menjadi perempuan pertama di Atap Dunia. Berselang tiga tahun, dua pendaki nekat Reinhold Messner (Italia) Peter Habeler (Austria) bahkan melakukan sesuatu yang nyaris mustahil: mendaki Everest tanpa menggunakan oksigen.
Bagaimana dengan kisah pendaki Indonesia di atap dunia ini? Upaya jalan-jalan ke wilayah Everest dilakukan pertama kali oleh Don Hasman dan rekannya di Mapala UI pada 1978. Keduanya berhasil mencapai base camp Everest. Berbagai upaya lainnya terus dilakukan untuk mencapai titik tertinggi Sagarmatha. Tahun 1994, Gunawan Achmad, atau kerap disapa Ogun, dari Wanadri mencoba meraihnya dengan bergabung tim pendaki internasional. Sayangnya, upaya pendakian rame-rame itu harus kandas. Ogun pun kembali ke Tanah Air dengan kegagalan.
Kontroversi pun mencuat saat Clara Sumarwati mengumumkan keberhasilannya sebagai perempuan pertama Indonesia (bahkan pendaki gunung Asia Tenggara) yang mampu meraih tripod alumunium Everest pada 1996. Namun yang disayangkan oleh berbagai pihak, perempuan yang pernah menggapai puncak Aconcagua (6.959 meter) di pegunungan Andes, Amerika Selatan pada 1993 itu tak berhasil menunjukkan bukti-bukti (terutama foto) saat ia berada di puncak Everest. Rekan pendakiannya, Gibang Basuki, pun tak mampu berbuat banyak untuk membantu Clara (yang pernah mencoba mencapai puncak Everest pada 1994 bersama PPGAD—Persatuan Pendaki Gunung Angkatan Darat).
Kabar gembira akhirnya mengalir dari Ekspedisi Indonesia Everest 1997. Pendakian sipil-militer itu mengantarkan Asmujiono dari Kopassus menjadi orang pertama Indonesia yang mencapai titik tertinggi Everest. Bahkan, saking gembiranya, ia membuka masker oksigen dan googles saat berada di puncak (akibatnya, ia harus menanggung derita hingga saat ini). Sejarah juga mencatat, Asmujiono menjadi orang pertama se-Asia Tenggara yang menjejak puncak Everest tanggal 27 April 1997.
Upaya pendakian ke Everest oleh para pendaki sipil Indonesia terus dilakukan—setelah keberhasilan Asmujiono itu. Akhirnya, tahun 2011, Indonesia masuk dalam jajaran elit pendaki Everest. Tak tanggung-tanggung, empat nama disumbang dalam daftar tersebut: Sofyan Arief Fesa (29), Xaverius Frans (25), Broery Andrew Sihombing (23), dan Janatan Ginting (23) dari organisasi Pecinta Alam Mahitala Universitas Parahyangan. Mereka mencapai puncak Everest tepat pada hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2011. Ekspedisi mereka ke Everest merupakan bagian dari pendakian tujuh puncak dunia (Seven Summiters).
Namun, Everest tidak begitu saja membuka jalannya pada semua orang. Dalam berbagai percobaan, gunung ini sudah memakan 200 korban jiwa. Salah satu tragedi besar terjadi di tahun 1996 ketika delapan pendaki dari berbagai negara tewas setelah terjebak badai salju.