Meningkat, Perokok Pemula di Indonesia

By , Rabu, 30 Mei 2012 | 17:31 WIB

Perokok pemula di Indonesia yang berusia 5-9 tahun meningkat dari tahun ke tahunnya. Bahkan, peningkatannya sebanyak enam kali lipat dalam 12 tahun terakhir ini, yakni 71.126 anak di tahun 1995 menjadi 426.214 di tahun 2007.

Berdasarkan data dari World Health Organization tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ketiga di dunia setelah China dan India dengan jumlah perokok terbesar yakni lebih dari 68 juta penduduk Indonesia. Hal ini disampaikan oleh peneliti Quit Tobacco Indonesia (QTI), Retna Siwi Padmawati, dalam jumpa persnya di Yogyakarta, Rabu (30/5).

Ia pun menambahkan, kematian akibat rokok per tahunnya mencapai 427.948 orang. "Secara sosiologis bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah friendly smoking. Merokok dianggap sebagai budaya warisan, bukan sebagai masyarakat yang kecanduan," tambahnya.

Rokok memiliki banyak dampak negatif baik dari segi kesehatan dan ekonomi. Penyakit yang ditimbulkan mulai dari pernafasan, paru-paru, dan ejakulasi dini pada pria. Sedangkan dari segi ekonomi, rumah tangga perokok yang menderita sakit akan kehilangan sebagian penghasilan. Rata‐rata 6 persen dari pendapatan perkapita di Indonesia dibelanjakan untuk rokok.

Seiring tingginya dampak merokok, perlu melakukan tindakan nyata untuk mengendalikannya. Di antaranya pelarangan merokok di tempat kerja di semua institusi, penyediaan kawasan/area merokok, layanan konseling berhenti merokok, serta pemberdayaan masyarakat dalam pengurangan dampak buruk.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY Sarminto menuturkan, berdasarkan hasil survei dinas kesehatan provisnsi DIY tahun 2009 menunjukkan bahwa 50 persen remaja SMA dan 30 persen remaja SMP di Yogyakarta pernah mencoba merokok. Angka merokok di DIY juga cukup tinggi mencapai 31 persen dari jumlah penduduk.

Di Yogyakarta, upaya penanggulangan bahaya rokok telah dipayungi oleh Perda nomor 5 tahun 2007 mengenai pengendalian pencemaran udara dan Pergub nomor 42 tahun 2009 tentang kawasan dilarang merokok. "Selanjutnya akan kita ajukan rancangan perda kawasan tanpa rokok di DIY," kata Sarminto.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Titi Savitri menambahkan perlu adanya keterlibatan serius perguruan tinggi untuk menghadapi industri rokok. Pasalnya, industri rokok saat ini dinilai semakin merajai kehidupan generasi muda. Dicontohkan, meski Rektor UGM telah mengeluarkan Peraturan Rektor UGM No.77/PII/SK/HT/2005, kampus ini masih menerima bantuan dari perusahaan rokok.

“Mungkin karena law enforcement dan endorsement belum kuat, belum ada sanksi yang diberikan kepada pelanggar, sehingga masih didapati hal tersebut,” katanya.

Kendati demikian, ia menyebutkan FK UGM berupaya konsisten dengan menolak setiap bentuk bantuan dari perusahaan rokok. Menurutnya hal ini sebagai bentuk perjuangan FK UGM memerangi rokok dan memberikan edukasi kepada masyarakat.