Pertama Kalinya, Karya Besar Pionir itu Untuk Indonesia

By , Minggu, 3 Juni 2012 | 23:12 WIB
()

Aku termangu melihat lukisan itu.../Kau beri adegan abad ke 19 yang begitu tegang.../seorang Pangeran, pangeran, ditangkap dengan khianat// Wahai Raden Saleh Syarif Bustaman, betapa padat dan kaya isyarat lukisan Tuan///

- Taufik Ismail, saat 17 tahun lalu pertama kali melihat lukisan "Penangkapan Pangeran Dipanagara" di Istana Negara, Jakarta -

Lantunan puisi legenda sastra Indonesia Taufik Ismail menjadi penanda dibukanya pameran lukisan Raden Saleh di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu malam (2/6). Diiringi sayup laju kereta api listrik Jakarta, penonton termangu mendengar puisi gubahannya.

Taufik Ismail menjadi satu dari sekian juta pengagum lukisan Raden Saleh Syarif Bustaman --salah satu pribumi Hindia Belanda pertama yang 20 tahun lebih belajar ke Eropa, terutama Jerman. Saleh, disebutkan oleh Duta Besar Jerman untuk Indonesia Norbert Baas, sebagai pihak pertama pembuka kran budaya Jerman dengan Jawa.

Berkat Saleh pula, warga Jerman memiliki kekaguman terhadap Indonesia. Malam itu, untuk pertama kalinya, karya-karya Saleh resmi dibuka untuk ditunjukan pada masyarakat Indonesia. Mulai dari 3 - 17 Juni 2012, warga Tanah Air bebas melihat sekitar 42 karya yang sebelumnya tersebar di kolektor pribadi, Istana Negara, hingga Perpustakaan Nasional.

Lukisan karya Raden Saleh berjudul Raden Ayu Muning Kasari di tahun 1857. Karya yang terlihat sederhana ini milik kolektor, namun diserahkan sementara selama pameran berlangsung di Galeri Nasional pada 3-17 Juni 2012.

Pembukaan secara resmi dilakukan Wakil Presiden Boediono, didampingi Baas sebagai perwakilan Jerman, dan Franz Xaver Augustin sebagai Direktur Regional Wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru dari Goethe Institut. Pembukaan ini sekaligus merayakan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia - Jerman.

Werner Kraus sebagai kurator lukisan-lukisan Saleh mengatakan,"Indonesia berhak melihat koleksi lukisan Saleh untuk pertama kalinya, terutama kaum muda. Karena mereka butuh melihat apa saja karyanya," ujar pria yang juga peneliti Pusat Seni Asia Tenggara di Passau, Jerman. "Saya merasa rendah hati bisa menampilkan semua lukisan-lukisan ini."

Ditambahkannya, jika sulit bagi warga umum melihat koleksi lukisan sebanyak ini karena biasanya terdapat di lokasi yang bukan untuk publik. Salah satunya, lukisan "Penangkapan Pangeran Dipanagara", yang terdapat di Istana Negara.

"Buat warga Indonesia, Saleh merupakan legenda, anekdot, seperti kisah dongeng. Seorang seniman besar karena karyanya termasuk karya bersejarah, terutama 'Penangkapan Pangeran Dipanagara'," kata Wapres dalam sambutannya.

Dalam pembukaan pameran malam itu, "Penangkapan Pangeran Dipanagara" juga ditampilkan dalam pentas wayang kulit berbalut seni modern. Namun, lukisan aslinya tetap menjadi primadona di ruang pameran Galeri Nasional.

Lukisan ini diselesaikan Saleh pada 1857. Di National Geographic Indonesia edisi Mei 2012, disebutkan peristiwa "terjebaknya" pemimpin Perang Jawa pada 28 Maret 1830 itu sebelumnya pernah dilukis oleh seniman muda Belanda, Nicolaas Pieneman atas pesanan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Saleh tentunya pernah melihat lukisan ini waktu ia di Eropa.

Seolah tidak sepakat dengan gambaran Pieneman, Saleh membuat banyak kebalikan dari versi Pieneman di dalam lukisannya. Kanvas Saleh besarnya hampir dua kali milik Pieneman. Pieneman melukis dari sisi kanan depan rumah Residen Kedu di Magelang, tempat Dipanagara dijebak, sementara Saleh dari kiri.

Saleh menggambarkan Dipanagara tengah menahan amarah, padahal dia tampak lesu dan pasrah di dalam lukisan Pieneman. Soal pemberian judul, Pieneman memakai kata "Penyerahan Diri" sementara Saleh "Penangkapan".

Saleh barangkali pernah ke kediaman Residen Kedu itu ketika mengunjungi Magelang pada 1853, sedangkan Pieneman tidak sekali pun pernah ke Hindia Belanda—sebab itu dia melukis anak buah Dipanagara seperti orang Arab.