Wayang Menembus Zaman: Teladan Pementasan Kisah Wayang Dipanagara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 4 Juni 2012 | 16:43 WIB
Wayang Dipanagara karya Ledjar Subroto yang dipentaskan di Galeri Nasional Jakarta , Juni 2012. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Ini siapa, Mbah?”“Ini Pangeran Dipanagara.”“Kalau yang satunya, Mbah?”“Ini Raden Saleh.”“Raden Saleh itu siapa Mbah?”“Raden Saleh itu seniman besar, ahli melukis.”“Oo, jadi Raden Saleh itu bapaknya Dipanagara ya, Mbah”“Lho, bukan bapaknya Dipanagara. Raden Saleh itu seniman yang melukis sejarah Dipanagara waktu ditangkap Belanda.”           Nationalgeographic.co.id—Demikian percakapan cucu dan kakeknya. Mereka membicarakan dua tokoh besar yang dibuat versi wayang kulitnya dalam fragmen pembuka “Wayang Dipanegara” di Galeri Nasional, Jakarta pada 3 Juni 2014. Pementasan tersebut merupakan rangkaian kegiatan seni dari pameran tunggal sejumlah karya “Pelukis Sang Raja”, Raden Saleh. “Lukisan yang ada dalam pemeran tersebut, saya angkat menjadi budaya wayang,” ungkap Ki Ledjar Soebroto, dalang senior asal Yogyakarta. Soebroto mempunyai ide untuk menerjemahkan salah satu karya Raden Saleh nan sohor, yaitu Penangkapan Pangeran Dipanagara, lewat cerita wayang. Menurutnya, lukisan itu telah mendokumentasikan peristiwa bersejarah yang kelak mengubah tatanan Tanah Jawa.Ananto Wicaksono, cucu Soebroto yang sekaligus dalang muda, membawakan pagelaran wayang kulit berlakon Dipanagara yang dibingkai kisah Raden Saleh malam itu. Seluruh kru pagelaran ini menggunakan jubah putih lengkap dengan sorban putih mirip Dipanagara. Baik Wicaksono maupun Soebroto, kerap menggunakan pesona wayang untuk menarik minat anak-anak pada sejarah dan budaya.

Baca Juga: Yuk Kita Jelajahi Makam Nelangsa Laskar Dipanagara di Kulonprogo

Wayang kulit di pembukaan pameran lukisan Raden Saleh, Jakarta. Kisah wayang beradu dengan musik modern. (Zika Zakiya/National Geographic Indonesia)
Menurut Soebroto “Wayang Dipanegara” merupakan buah karya Nasirun, seorang perupa asal Yogyakarta. Berbeda dengan wayang klasik, wayang ini menggunakan tokoh-tokoh dalam Perang Jawa sesuai karakternya. “Mungkin wayang dapat dijadikan sarana komunikasi,” ungkap Soebroto, “inilah milik bangsa yang harus dilestarikan.”Werner  Kraus, kurator karya Raden Saleh dari Centre for Southeast Asian Art di Passau Jerman, mengatakan bahwa cerita Penangkapan Dipanagara merupakan saat-saat penting dalam sejarah Indonesia. Setelah Diponegoro dijebak oleh Belanda, dimulailah kolonialisme di Jawa. Namun, kisah ini bukan sekedar awal kolonialisme, tetapi sekaligus juga perlawanan kolonialisme. “Pameran karya lukis Raden Saleh ini sejatinya difokuskan pada semangat itu.”Irina Vogelsang, penggagas ide pagelaran wayang, malam itu tampak sumringah. Dia berpendapat bahwa pameran karya Raden Saleh dan acara kesenian yang menyertainya merupakan simbol persahabatan antara Indonesia dan Jerman. “Persahabatan itu tidak dilihat dari level politik,” ungkap Vogelsang dalam bahasa Indonesia yang fasih, “tetapi sesungguhnya di sini, di dalam proses mewujudkan acara ini.”Vogelsang menambahkan tentang semboyan Raden Saleh yang menjadi semangat terselenggaranya acara ini: ”Hormatilah Tuhan dan cintailah sesama manusia.” Semboyan yang sejatinya berbahasa Jawa ini terukir di sebuah masjid di Maxen yang didedikasikan oleh Mayor Johann Friedrich Anton Serre kepada Raden Saleh pada 1848. Menurut Vogelsang, sebagai muslim, tentu Saleh mempercayai adanya Tuhan dan tampaknya bagi Saleh agama bukanlah batasan untuk saling mencintai sesama makhluk ciptaan-Nya. “Ini adalah moto Raden Saleh sendiri mengenai toleransi sesama manusia.”

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon