Transisi sistem ekonomi negara-negara di dunia ke sistem green economy bisa mengangkat 1,3 miliar orang dari jurang kemiskinan. Namun, bukan hanya tema "hijau" yang diterapkan. Tapi juga didukung dengan kebijakan yang kuat serta kerja sama investasi publik dengan swasta.
Demikian hasil paparan laporan Building an Inclusive Green Economy for All yang dirilis Poverty-Environment Partnership (PEP), Kamis (14/6). PEP merupakan agensi kerjasama antara agensi PBB, bank pembangunan, dan LSM-LSM internasional. Hasil laporan ini jadi salah satu pendahuluan jelang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 pada 20-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil.
Laporan tersebut menyebutkan, jika gerakan green economy di negara-negara berkembang punya potensi meningkatkan "tiga garis terbawah." Yakni menciptakan perkembangan ekonomi, lingkungan yang berkelanjutan, dan keterlibatan sosial.
Contohnya terjadi Mongolia dan Uganda. Di mana Mongolia, untuk pertama kalinya, berhasil mengembangkan kincir tenaga angin berdaya 50 megawatt. Diperkirakan, kincir ini bisa mensuplai sekitar lima persen kebutuhan negara di utara Asia ini. Di saat bersamaan, Mongolia juga mengurangi polusi udara yang berhubungan dengan pembakaran batu bara.
Sedangkan kisah sukses green economy di Uganda melibatkan puluhan ribu petani setempat. Pendapatan mereka berhasil meningkat sebanyak 300 persen hasil dari panen bersertifikat dari nanas, jahe, vanila, dan beberapa andalan eskpor Uganda lainnya. Secara global, petani Uganda ini juga membantu memasarkan makanan organik ke seluruh dunia.
"Banyak negara miskin dan berkembang memanfaatkan kesempatan untuk membawa ekonomi dan ekologi bersama-sama untuk menghasilkan transformasi sosial," kata Direktur Eksekutif Program Pembangunan PBB (UNEP) Achim Steiner.
Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa menerapkan green economy. Namun, menurut Akhmad Fauzi, Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, ada beberapa kendala yang dihadapi bangsa Indonesia.
Dalam pemaparannya berjudul "Green Economy: Kebijakan dan Prakteknya di Indonesia" disebutkan kendala itu antara lain; bagaimana meminimalisir jajaran birokrasi untuk memudahkan investasi hijau, memulihkan hukum dan peraturan yang konflik satu sama lain, serta dukungan dana. Selain itu perlu ditingkatkan kesadaran lingkungan di komunitas.