Raden Saleh, Kemasyhuran Pelukis Jawa yang Terlupakan

By , Senin, 18 Juni 2012 | 14:05 WIB
()

National Geographic Indonesia dan Goethe Institut menyelenggarakan Temu Wicara “Pelukis Sang Raja nan Kesepian” di Galeri Nasional Jakarta (16/6). Acara jelang sore itu menghadirkan dua pembicara: Dr. Werner Kraus dan Budi D.N. Dharmawan.

Keduanya berbagi pengetahuan tentang siapa sejatinya sosok Raden Saleh kepada sekitar dua ratus pengunjung dari berbagai kota. Kraus merupakan pemrakarsa sekaligus kurator pameran Raden Saleh dan Direktur Centre for Southeast Asian Art di Passau-Jerman. Pembicara lainnya, Dharmawan merupakan kontributor foto dan tulis untuk feature tentang Raden Saleh di National Geographic Indonesia, Pionir di Celah Dua Loka”.

Adikarya Raden Saleh “Penangkapan Pangeran Dipanagara” menjadi pembahasan yang menarik dalam diskusi. Meskipun Saleh selama 20 tahun tinggal di Eropa, dalam lukisan itu dia menempatkan diri sebagai seorang pelukis Jawa. Saleh seolah turut merasakan kecamuk emosi rakyat yang tertindas ketika Dipanagara, sang pemimpin Perang Jawa, dijebak oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock.

Tampaknya lukisan Raden Saleh itu merupakan ekspresi semangat kejawaannya terhadap lukisan Pieneman. Saleh banyak membuat kebalikan dari versi Pieneman di dalam lukisannya. Hal yang mencolok dari lukisan ini adalah tidak proporsionalnya antara ukuran kepala-badan tentara Belanda.

Werner Kraus mengatakan bahwa Saleh sengaja melukiskan kepala tentara-tentara Belanda itu lebih besar dibanding badan mereka. Saleh ingin menunjukkan semangatnya sebagai orang Jawa. “Kepala tentara Belanda yang besar itu mirip raksasa jahat. Posisi orang Jawa dilukiskan di sisi kanan perlambang lebih powerful, semangat rakyat Jawa tertindas.”

Pengunjung mengabadikan lukisan Penangkapan Pangeran Dipanagara dalam pameran karya Raden Saleh di Galeri Nasional, Jakarta. Lukisan ini jarang bisa terlihat oleh publik mengingat selama ini ditempatkan di Istana Negara. (Zika Zakiya/NGI)

"Saleh merupakan pelukis dengan teknik Eropa namun dengan konten sangat Jawa. Indonesian art," demikian ujar Kraus dalam diskusi tersebut. "Saleh sejatinya anak pesisir, namun sejak usia belia dia sudah punya sense melukis yang bagus."

Dharmawan berkisah tentang penugasannya mencari sosok Raden Saleh selama enam bulan. Dia menelusuri sosok “Pelukis Sang Raja” itu dari Yogyakarta, Magelang, Semarang, Bandung, Bogor, hingga Jakarta. "Sepanjang penelurusan, saya menyaksikan banyak karya Saleh yang mengesankan. Saya juga banyak menemukan duplilkat atau versi lukisan Saleh," ujar Budi.

Tamara, salah satu peserta diskusi asal Jakarta, mengungkapkan bahwa dia mengikuti acara ini karena penasaran dengan sosok Raden Saleh. Perempuan pekerja swasta ini pernah melihat litografi Saleh 15 tahun lalu. Sejak saat itu, ia ingin tahu bagaimana sosok sesungguhnya “Pelukis Sang Raja” itu di masa hidupnya.

“Pelukis Sang Raja” merupakan gelar kehormatan yang dianugerahkan oleh Raja Willem II kepada Raden Saleh. Tidak seperti ketika Saleh di Eropa yang dekat dengan kalangan bangsawan kerajaan, tampaknya di Jawa dia merasa kesepian. Kraus mengungkapkan sosok Raden Saleh di akhir hidupnya yang miskin, pindah dari rumah megah di Cikini (kini RS PGI Cikini) ke sebuah rumah kontrakan di belakang Hotel Belle Vue Bogor.

Dharmawan juga menulis di National Geographic Indonesia tentang sosok Saleh ketika kembali ke Jawa. “Pulang ke Jawa,” tulis Dharmawan, “dia tidak betah―karena ‘di sini orang hanya membicarakan kopi dan gula, gula dan kopi’―dan ingin kembali ke Eropa.”   

Temu Wicara “Pelukis Sang Raja nan Kesepian” merupakan salah satu acara penutup pameran lukisan Raden Saleh di Galeri Nasional yang berlangsung sejak 3 Juni 2012 lalu. Pameran berisi lebih dari 40 lukisan Saleh yang dikumpulkan dari berbagai sumber: kolektor, Istana Negara, dan Perpustakaan Nasional. Pameran ditutup Minggu 17 Juni kemarin.