Masyarakat Pengelola Hutan Punya Posisi Tawar yang Besar

By , Selasa, 19 Juni 2012 | 16:50 WIB
()

Potensi luasan kehutanan masyarakat di Indonesia mencapai 12 juta hektare. Dengan hutan rakyat di Pulau Jawa saja mencapai tiga juta hektare dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyaralat (PHBM) seluas satu juta hektare.

Luasan hutan ini menciptakan lapangan pekerjaan di sektor wirausaha. Misalnya dengan menghasilkan kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti madu, rotan, karet, kopi, dan obat-obatan. Selain itu jasa lingkungan seperti karbon, air, dan wisata menjadi manfaat lain dari hutan.

Menurut Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Hariadi Himawan, potensi kehutanan masyarakat seluas 12 juta hektare membuat mereka memiliki posisi tawar yang besar. Namun, dikatakan Direktur Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) Arif Aliadi, para pelaku usaha wiraswasta ini bergerak sendiri-sendiri. Dibutuhkan asosiasi untuk menghadapi berbagai masalah kehutanan bersama yang disebut Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI).

(ki-ka) Andri Santosa (Ketua Panitia Kongres AWKMI), Susi S. (Humas Perhutani), Hariadi Himawan (Direktur Bina Perhutanan Sosial, Kementrian Kehutanan), Arif Aliadi. Para narasumber AWKMI memaparkan konsep Kongres, di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, (19/6) (Amna Oriana)

AWKMI dibentuk untuk mewadahi masyarakat pengelola hutan dan akan diresmikan saat Kongres di Semarang pada 21-23 Juni 2012. "Kongres akan dihadiri oleh pelaku usaha skala kecil sampai menengah yang tinggal di sekitar hutan, yang memanfaatkan kayu dan hasil hutan bukan kayu," kata Arif saat Press Briefing "Wirausaha Masyarakat Hutan" di Jakarta, Selasa (19/6).

Ditambahkan oleh Sekretaris Nasional Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Andri Santosa, masyarakat perlu mengoptimalkan produk atau hasil hutan agar lebih sejahtera. Konsolidasi dan kerja sama dengan perajin dan pelaku usaha juga perlu digalang. "Bisnis ekosistem serta green entrepreneurship masih perlu didorong," ujar Andri.

Dalam kongres peresmian AWKMI, diperkirakan akan hadir 350 orang pelaku usaha dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Program kerja yang ditawarkan pun ada tiga, pertama meningkatkan akses modal, seperti kerja sama dengan bank atau lembaga lainnya.

Kedua, meningkatkan kualitas produk yang sudah distandarisasi. Terakhir, meningkatkan harga jual kayu yang bersertifikat legal. Program kerja terakhir disebut akan mendatangkan tantangan dan juga peluang usaha lebih besar. "Tantangan akan kayu legal bersertifikat bisa membuka peluang pasar lebih luas, jika kita sungguh-sungguh menanganinya," kata Diah Rahardjo. Direktur Program Multi Stakeholder Forestry Program (MFP).

Asosiasi ini dijanjikan bukan hanya memfasilitasi para pelaku usaha, tetapi juga mencoba untuk mengatasi berbagai konflik dan permasalahan hutan.