Butuh Gerakan Masyarakat untuk Menyelamatkan Kawasan Dieng

By , Selasa, 3 Juli 2012 | 12:05 WIB

Sekitar 7.758 hektare lebih lahan di Dieng - masuk dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo -, sudah menjadi lahan kritis. Harus ada program konservasi bagi daerah aliran sungai (DAS), demi penyelamatan lahan.

Demikian dikatakan Setyo Bangun, aktivis dari Program Strengthening Community Bassed Forest and Watershed Management (SCBFWM) Yogyakarta, yang ditemui pada Dieng Culture Festival, Minggu (1/7).

Ia mengutarakan, pihaknya tengah menggiatkan penguatan berbasis kelompok masyarakat demi upaya konservasi dan penanganan terhadap tiga DAS terpenting di wilayah tersebut yakni Merau, Tulis, dan Serayu.

Salah satu cara melalui kampanye gerakan sosial bertajuk "KOIN PEDULI DIENG" yang melibatkan partisipasi dari masyarakat di luar kawasan Dieng ini. Menurut Setyo, kampanye sudah dimulai sejak April lalu dan direncanakan akan sampai 2014.

Untuk masyarakat setempat, kesadaran konservasi terus dilakukan. Di antaranya adalah, perbaikan secara fisik (rehabilitasi) DAS kritis. Contohnya dengan menanam banyak vegetasi berakar kuat yang bisa membantu menopang tanah, seperti jeruk, kopi, carica, eukaliptus. Serta peningkatan kapasitas masyarakat lewat program pengembangan ekonomi terpadu seperti memberikan jalan alternatif pendapatan dari peternakan sapi dan domba.

Selain itu, juga dengan membangun peran multipihak, dalam Tim Kerja Pemulihan Dieng. "Kami juga berupaya menginisiasi agar keputusan pemerintah di tingkat desa memasukkan unsur lingkungan, begitu pun di tingkat perda, tentang daerah aliran sungai," tambahnya.

Setyo menyebutkan, selama ini sudah ada upaya-upaya konservasi untuk lahan kritis di Dataran Tinggi Dieng. Namun, upaya penanganan tersebut tidak terintegrasi. "Konservasi lahan kritis memerlukan pengelolaan DAS terpadu. Ini artinya juga kesadaran dari semua pihak, pemerintah, masyarakat setempat, dukungan dana publik," ungkapnya.

Kerusakan lingkungan Dieng mulai terjadi sejak tahun 1980-an dan degradasi hutan memicu kerusakan hutan terparah terhitung mulai 1998. Tingkat erosi tinggi, antara lain faktor pertanian tanaman kentang yang semusim, menyebabkan rentannya bahaya tanah longsor dan berkurangnya tingkat kesuburan tanah.

Padahal, kata Setyo, buruknya kondisi di Dataran Tinggi Dieng ini dapat berdampak sampai ke area-area di bawahnya.