Potensi budidaya anggrek untuk peluang usaha di Indonesia sangatlah tinggi. Sayangnya, perkembangannya masih cenderung lambat. Hal ini dikemukakan oleh Pengurus Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Cabang Yogyakarta, Kadarso, di sela pelatihan budidaya Anggrek Angkatan XX, Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project (I-MHERE), di Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (9/7).
Kadarso menjelaskan, Indonesia memiliki sekitar 5000 spesies anggrek. Beberapa di antaranya berpotensi untuk dibudidayakan seperti Dendrobium, Cattleya, Phalaenopsis, Oncidium, Arachnis, Renanthera, Vanda, serta Paphiopedilum.
Pembudidayaan ini sangat potensial menjadi peluang usaha baik di pasar domestik dan pasar luar negeri. Karena anggrek memiliki spektrum yang luas pada warna, bentuk dan ukuran, tekstur maupun kemampuan variasi yang tidak terbatas.
“Dari mulai anak semai anggrek yang lembut dalam botolan, lalu tumbuh menjadi tanaman remaja, tanaman dara, berbunga hingga akhirnya layak jual, anggrek dapat menghasilkan uang,” kata Kadarso.
Sayangnya, proses pengembangan anggrek di Indonesia masih terkendala berbagai hal. Faktor teknologi, sumber daya manusia, serta modal menjadi contohnya
Sementara itu Dosen Fakultas Biologi UGM Ari Indrianto mengatakan, selama ini banyak orang menyebut anggrek sebagai “bunga elit” karena mahal. Menurut Ari yang menyebabkan harga mahal ini adalah kecenderung orang untuk membeli tanaman anggrek yang sudah dewasa dan sudah berbunga tanpa bersedia merawat tanaman tersebut sejak kecil.
“Padahal letak kemahalan harga tanaman tersebut adalah pada perawatannya, juga pada perbanyakannya, karena memerlukan ketrampilan khusus,” imbuh Ari.
Dalam bertanam anggrek, kunci utama keberhasilannya adalah kecintaan, ketekunan, dan kesungguhan dalam perawatan. Hal ini bisa didapat dengan belajar dari pengalaman dan mengikuti perkembangan ilmu di bidang peranggrekan.
“Banyak penganggrek yang berangkat dari sekedar hobi menjadi pengusaha besar di bidang peranggrekan,” kata Ari.