Kekeringan kerap melanda sebagian besar negara tropis dan subtropis ternyata juga dialami oleh nenek moyang Suku Maya. Namun, suku ini memiliki cara tersendiri mengatasi masalah tersebut.
Dalam setiap tahunnya terdapat empat bulan musim kering di Situs Tikal --salah satu situs arkeologi terbesar tempat Suku Maya tinggal. Terletak di wilayah arkeologikal Petén Basin yang saat ini menjadi Guatemala. Kota ini menjadi pusat kota metropolis yang dihuni 8.000 warga pada tahun 700 Masehi.
Penelitian terbaru menemukan bagaimana para penduduk Tikal dapat bertahan hidup lebih dari 1.000 tahun saat musim kering. Mengejutkan, pada zaman itu ternyata Suku Maya telah memiliki sistem pengairan secara berkelanjutan.
Dalam laporan jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences yang diterbitkan 16 Juli, para arkeolog mengungkapkan Suku Maya memiliki reservoir (waduk). Waduk ini berguna sebagai tempat penyimpan air yang mampu menampung air hujan selama delapan bulan. Simpanan air inilah yang mereka gunakan saat musim kemarau.
"Orang-orang ini (Suku Maya) mampu memanfaatkan tanah dan sumber daya air secara berkelanjutan selama 1.500 tahun tanpa gangguan yang signifikan," kata Vernon Scarborough, seorang antropolog di University of Cincinnati, Amerika Serikat.
Scarborough bersama rekannya menggali waduk, kanal, dan pintu air yang dulunya digunakan untuk mengaliri air dari puncak perbukitan Tikal menuju pemukiman warga.
Pertama kali orang pindah ke Tikal pada tahun 500 Sebelum Masehi. Pada walnya mereka hanya bergantung pada air alami untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akan tetapi lama-kelamaan seiring bertambahnya penduduk jumlah air alam tidak mencukupi lagi.
Kondisi ini mengilhami warga Tikal untuk membuat natural arroyos (sungai kering buatan), berfungsi sementara atau musiman diisi oleh air hujan dan mengalir setelah air hujan cukup. Lalu bergotong royong mengambil batu dari kuil dan rumah mereka untuk membangun sungai menjadi waduk. Waduk yang ditemukan para arkeolog ini mampu menampung hingga 74.631 meter kubik air hujan.
Tidak hanya memiliki sistem air bersih, Suku Maya juga memiliki sistem sanitasi yang berkelanjutan. Hilangnya mata air otomatis menghilangkan penyaringan alami dari tanah dan pasir. Suku Maya akhirnya membuat sistem penyaringan sendiri secara sederhana.
Berdasarkan temuan para arkeolog, Suku Maya menampung air hujan ke dalam bak berisi pasir yang sekaligus menjadi tempat filtrasi (penyaringan). Sistem ini mampu menyaring puing-puing besar. Akan tetapi warga kota harus merebus air atau menambahkan sedikit alkohol agar air aman untuk diminum karena sanitasi belum memenuhi standar modern.
Dengan melihat sejarah bagaimana Suku Maya mendapatkan air bersih, masyarakat modern dapat belajar bagaimana menciptakan teknologi berumur panjang di tengah krisis air dan energi yang saat ini dialami. Teknologi sederhana bisa menjadi salah satu solusi.
"Hal ini terdengar sebagai suatu pendekatan untuk meningkatkan kesejahteraan planet kita pada tingkat dasar," kata Scarborough.