Perkembangan kota yang tidak terkendali akan menciptakan paradoks urban, yaitu munculnya kantong-kantong kemiskinan baru. Masalah ini diangkat dalam diskusi mengenai pembangunan kota berkelanjutan bersama Sustainable Urban Development Forum, di Jakarta pada hari Rabu (18/7).
Direktur Perkotaan Ditjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Joessair Lubis, mengutarakan banyak sekali aspek yang harus dilibatkan menyangkut sebuah pembangunan kota yang berkelanjutan.
Ia menyarankan perlunya pemikiran dari setiap unsur, dari pemerintah sampai warga, untuk mengejawantahkan bagaimana penerapan konsep pembangunan kota berkelanjutan itu.
Endra S. Atmawidaja, dari pihak Kebijakan dan Strategi Perkotaan Kementerian PU senada mengatakan, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pembangunan berbasis lingkungan adalah aspek yang dibutuhkan dalam membenahi pembangunan di kota besar seperti Jakarta.
"Sekarang ini perkembangan kota Jakarta ditengarai lebih didominasi oleh pihak swasta. Peran masyarakat belum terasakan," lanjut Endra.
Hal terakhir yang dapat melengkapi, tuturnya, adalah andil pemerintah (good urban governance) berkomitmen untuk menerapkan dan menyusun peraturan yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan.
Fisik Semata
Suhadi Hadiwinoto dari Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) melihat bahwa pembangunan yang ada selama ini selalu berupa pembangunan fisik. "Setelah itu, seolah-olah lepas tangan. Urusan di bidang sosial seakan hanya urusan Kemendikbud atau Kementerian Sosial," katanya.
Menurut Suhadi, pembangunan sarana dan prasarana tidak dapat dilepaskan dari pembangunan sosial budaya. Karena bangunan tersebut dibangun untuk mendukung kegiatan manusia pula.